Saturday, April 28, 2007

[INDONESIA-L] KELANA - Elit Politik Jangan Bodohi Rakyat (6/7-'99)

Date: Tue, 6 Jul 1999 16:19:32 -0600 (MDT)
Message-Id: <199907062219.QAA04239@indopubs.com>
To: indonesia-l@indopubs.com
From: apakabar@Radix.Net
Subject: [INDONESIA-L] KELANA - Elit Politik Jangan Bodohi Rakyat
Sender: owner-indonesia-l@indopubs.com

>From: Budi Sosiawan <aqua_50@hotmail.com>
>To: apakabar@saltmine.radix.net
>Subject: Elit Politik Jangan Bodohi Rakyat
>Date: Sat, 03 Jul 1999 13:37:40 PDT
>
>ELIT POLITIK JANGAN BODOHI RAKYAT.
>
>
>Salah satu agenda reformasi adalah tertib hukum, dimana suka atau suka
>hukum yang berlaku harus dihormati. Kalau tidak menyetujui ketentuan hukum
>tersebut harus diadakan perubahan sesuai dengan aturan main yang ada. Salah
>satu ketentuan konstitusi yang berlaku adalah soal pemilihan presiden yang
>dilakukan melalui MPR. Tidak ada satupun pasal yang menyatakan partai
>pemenang pemilu Ketua Umumnya harus jadi presiden.

I.
Secara harafiah,anda sangat benar.
Tetapi,apakah demikian menjabarkannya?
Saya kira didalam kita hendak menjabarkan itu,harus juga melihat situasi, kondisi dan jiwa serta semangat yang berkembang pada saat mana kita konstitusi itu. Para founding fathers yang menyusun UUD 45 itu dalam penjelasannya menekankan juga hal itu bahwa faktor 'semangat' sangatlah penting didalam kita menjabarkan konstitusi itu. Itulah sebabnya konstitusi itu dibuat singkat/supel untuk dapat berlaku pada segala waktu dan zaman.

Apakah semangat yang sedang berkembang sekarang dimasyarakat itu?
Jawabnya ialah semangat yang menghendaki adanya perobahan/reformasi dari situsi yang mencekam/membelenggu/otoriter/machevialist rezim Orba/Suharto cs ke penyelenggara negara yang demkokrasi,penegakan hukum dan perlindungan HAM.

Apakah semangat ini anda rasakan dan dapat menyatakan bahawa yang anda rasakan itu mewakili semangat hampir seluruh rakyat Indonesia sekarang ini?

Semangat inilah menurut saya yang berpengaruh dalam batin dan kehendak rakyat Indonesia pada pemilu yll yang ingin melepaskan diri dari cemgkraman rezim orba tsb.

Saya kutib kata-2 founding father dalam penjelasan itu sbb:"Meskipun dibikin UUD yang menurut kata2nya bersifat kekeluargaan, apabila semangat para penyelenggara negara, pemimpin pemerintahan itu bersifat perseorangan,UUD tadi tentu tidak ada artinya dalam praktek.Sebaliknya meskipun UUD itu tidak sempurna,akan tetapi jikalau semangat para penyelenggara pemerintahan baik,UUD itu tentu tidak akan merintangi jalannya negara"

Apa kenyataan yang kita hadapi sekarang ini?
Anda saya kira sudah mendengar bahwa sudah puluhan ribu laporan kecurangan pelaksanaan pemilu yll yang masuk ke Panwaslu dengan semua tuduhan ke Golkar,PDR dan croni partai Orba yang menjagokan Habibie.

Bukanlah hal yang main2 bila sampai Panwaslu telah mengadukan ke MA kecurangan2 yang dilakukan oleh Golkar cs.,sehingga perolehan suaranya diragukan,malah oleh kalangan pro reformasi diusulkan agar Golkar didiskwalifikasi karena mereka menginginkan agar Golkar yang masih sarat dengan budaya machevilian itu jangan sampai masih berkiprah lagi pada era reformasi yang mereka perjuangkan.

Dimana azas kekeluargaan yang tentu dalam prakteknya adalah penyelenggaraan pemilu yang luber dan jujur serta adil oleh pihak2 yang masih pro orba itu (Golkar cs)?

Toh kenyataannya PDIP dengan calon Presidennya adalah Megawati,sebagai partai pengumpul suara yang paling besar dimana hingga 5/7 perolehan kursi PDIP=133 , Golkar=98 ?, PKB=42,PPP=34,PAN=21,PBB=2,PK=1.

II
Anda saya kira sudah mengetahui bahwa sebelum Pemilu para partai2 telah mengajukan/ menjagokan calon2 presidennya dalam rangka mencairkan kebekuan budaya orde baru yangtidak boleh mengajukan calon presidennya pada waktu pemilu,atau menjual kucing dalam karung?Anda dapat lihat di http://www.kpu.go.id/ dimana 17 partai telah menjagokan calon2
presidennya,dan ini adalah suatu awal dari pewujudan sistim demokrasi yang jujur dan terbuka yang dilandasi azas kekeluargaan dalam persaingan yang fair?

Kenapa sesudah partainya tidak mengumpulkan suara terbesar lalu elit2 partai itu ingkar akan komitmen kekeluargaan yang telah mulai dirintis sebelum pemilu itu?
Kenapa para calon2 itu tidak secara fair mengakui kekalahannya dan mengucapkan saja selamat kepada pemenang?

Apakah mereka2 yang ingkar komitmen kekeluargaaan itu tidak ada lagi rasa malu hingga ingin dijagokan lagi pada sidang MPR yang kebetulan secara harafiah membuka peluang lagi untuk mencalonkan diri,dan berupaya mememnangkannya(issue yang beredar bila perlu dengan cara2 machevialist a.l mengandalkan wang?)

Bagaimanakah logika ini akan diterima oleh rakyat yang partainya memenangkan bila ternyata calonnya tidak menjadi presiden dan sebaliknya bagaimanakah presiden yang partainya telah kalah dalam pemilu,mengantisipasi ketidak menerimaan dari rakyat2 yang tidak puas karena tidak dapat diterima akal sehat,walaupun oleh para elit partai itu berusaha menenangkan para pemilihnya?

Apabila ini yang terjadi maka cara2 orde baru yang represif tidak mustahil akan muncul kembali.
Apakah ini yang kita harapkan?
Sedangkan bila calon2 partai yang kalah menerima kekalahannya secara fair (jantan) hingga calon partai pemenang yang menjadi presiden,dan hal ini disosialisasikan kepada para pemilihnya tentu akal sehatnya akan menerima itu.

Dengan demikian SUMPR tidak lagi ajang intrik dan machevilian (yang merupakan budaya orba)tetapi benar2 mencerminkan semangat yang digagaskan oleh para founding father bangsa ini.

III.
Tinjauan dari sisi lain,dengan tetap dilandasi semangat yang dikatakan oleh para founding father diatas.
Apakah UU Pemilu yang ada telah bersumber dari semangat UUD 45 itu?
Apakah jumlah dan susunan anggota MPR yang ditentukan SIMPR lalu sudah
merupakan jiwa dan semangat dari UUD45 dan founding father itu?

Kita mengetahui siapa yang menyusun UU Pemilu dan TAP MPR itu.

Apakah DPR hasil pemilu dari UU Pemilu nanti telah dilandasi semangat UUD45 itu?
Lebih spesifik apakah anggota DPR nanti merupakan wakil rakyat yang disebut UUD45 itu ataukah wakil partai peserta pemilu dan TNI?

Apakah jumlah wakil daerah dan golongan yang jumlahnya sampai 250 itu (50% dari anggota 'DPR')dapat disebut lagi sebagai PENAMBAH atas anggota2 DPR itu sehingga keseluruhan mereka layak disebut sebagai penjelmaan kedaulatan rakyat itu? Bukankah rakyat daerah dan anggota2 golongan yang diwakili 250 itu telah ikut dalam pemilu itu?

Apakah adil dan demokrasi bila seorang anggota 'MPR' yang dari hasil Pemilu (462 orang) yang katanya 'mewakili' kira 200.000 orang pemilihnya di 'MPR' yang hanya mempunyai satu hak suara disidang 'MPR' itu dibandingkan dengan anggota yang dari daerah dan golongan serta TNI yang kita tidak tahu suara orang yang diwakilinya(karena semua orang/penduduk telah menyalurkan aspirasinya dalam pemilu) tetapi mempunyai hak suara satu juga di sidang 'MPR' itu,sehingga suara mereka ini (288 orang) sangat menentukan dalam sidang 'MPR' itu?

Apakah ini sesuai dengan perwujudan semangat yang diamanatkan UUD45 mengenai kedaulatan rakyat itu?

Pelaksanaan pemilu yang lalu dimana rakyat datang ke TPS itulah sebenarnya yang merupakan perwujudan kedaulatan rakyat itu dimana mereka memilih partai2 yang menjagokan calon presiden masing2 (bukan memilih calon legislatif yang mereka unggulkan,karena kebanyakan calon2 itu adalah manusia2 yang mereka tidak kenal dan sebaliknya), sedangkan calon2 legilatif itu sebenarnya hanya produk ikutan dari pilihan rakyat itu yang nebeng kepartai itu atau kasarnya adalah by- produk pemilu itu.?

Komposisi perolehan suara partai pada pemilu itulah yang sebenarnya dari kedaulatan rakyat yang sebenarnya dan merupakan semangat yang diamanatkan oleh UUD 45 itu dan para founding father bangsa ini.

Hal inilah yang masih mengganjal dan yang cacat dalam pembentukan MPR seperti yang diamanatkan oleh UUD45 itu,sehingga sebenarnya 'MPR'itu bukanlah perwujudan dari kedaulatan rakyat seperti yang diamanatkan oleh UUD45 itu,sehingga mereka sebenarnya hanya 750 rakyat (pemilih) dari kira2 120.000.000. rakyat pemilih yang berdaulat itu.

Manakah sebenarnya yang mencerminkan kedaulatan rakyat yang diamanatkan oleh UUD45 itu,apakah hasil pemilu yang diikuti 120.000.000 rakyat itu ataukah hasil dari suara 750 anggota MPR yang bukan mewakili rakyat itu,tetapi hanya utusan partai itu?

Marilah kita menjawab pertanyaan itu secara fair dan dari suara hati nurani kita masing2 dan kemudian menyimpulkannya.

Tulisan anda berikutnya tidak saya tanggapi lagi,karena inti sarinya telah saya kemukakan ditulisan diatas.

[Dipotong, lihat posting asli - John]

kelana