Sunday, April 29, 2007

[INDONESIA-VIEWS] KELANA - Menkeu Bambang Sudibyo yang Mabuk Kepayang (40) (16/1-'99

[INDONESIA-VIEWS] KELANA - Menkeu Bambang Sudibyo yang Mabuk Kepayang (40)

From: apakabar@saltmine.radix.net
Date: Sun Jan 16 2000 - 20:32:37 MST


Date: Sat, 15 Jan 2000 20:12:18 PST

Seseorang yang tadinya bukan siapa2,tetapi tiba2 menjadi salah satu pusat perhatian karena tiba2 menjadi berkuasa,apabila tidak dapat mengendalikan pikiran/perasaan sebagaimana yang dituntut oleh posisi barunya itu,maka ybs akan jadi mabuk kepayang akan posisinya yang tiba2 itu, dan dapat berkata kata atau bertindak atau berbuat tidak wajar/tidak proporsional/ arogan/sok kuasa yang menimbulkan kemuakan bagi kebanyakan masyarakat.

Inilah yang terjadi atas diri Amin Rais /Ketua MPR,Nurmahmudi/Menhutbun,Bambang Sudibyo/Menkeu,yang kerena tiba2 menjadi pusat perhatian dan berkuasa,jadi mabuk kepayang dalam berkata2,bertindak maupun berbuat,seenak perutnya,tanpa memperhatikan lagi rambu2 yang ada dan atau batas2 kepatutan,apakah itu berupa ketentuan/perundang2an yang berlaku ataukah itu etika dan moral yang tumbuh dimasyarakat menyangkut aspek2 social dan politik ataukah kepatutan2 yang dituntut oleh posisi yang disandangnya.

Apakah patut,apabila Amien rais pada suatu ketika dalam menanggapi suatu masalah akan menyatakan dia sebagai Ketua MPR,tetapi pada saat yang lain dalam menanggapi masalah yang sama itu pula tetapi dengan pendapat yang berbeda dari yang pertama dengan alasan pendapat itu dari pribadinya?

Apakah patut seorang Amien rais yang ketua MPR yang pejabat Negara yang seharusnya dituntut berbicara sebagai Negarawan oleh Rakyat, tetapi berbicara sebagai pemimpin sektarian dari kelompok tertentu ?

Peraturan/ketentuan untuk itu tidak ada,hanya menyangkut etika/moral dan kepatutan saja,yang justifikasinya berada didalam hati/pikiran/ nurani dari masyarakat yang susah dibantah.

Apakah patut seorang Nurmahmudi/Menhutbun yang Pejabat Negara yang berartimenjadi Negarawan (tidak sektarian),berkata 'demi reformasi dan demokrasi'lalu menginjak2 peraturan dan perundangan2 Negara yang ada dalam bertindak dan berbuat a.l menyangkut penempatan pejabat/ aparatur dan kelembagaan ? (lihat tulisan saya no.39)

Apakah patut seorang Bambang Sudibyo/Menkew yang Pejabat Negara yang berarti menjadi Negarawan (tidak sektarian),menginjak2 peraturan dan perundang undangan Negara yang berlaku (PP no.32/1979,UU no.43 th.1999, Kepres 162/1999) dengan masih berkata kata/bertindak dan berbuat dalam menempatkan pejabat atas dasar 'bagi2 kekuasaan' antar partai dilemabaga2 negara yang ada,yang berarti kekuasaan di lembaga kenegaraan tertentu dari atas sampai kejajaran paling rendah dikuasai oleh partai tertentu?

Sepatutnya para Negarawan2 ini belajar dari sejarah,jangan sampai lebih dungu dari keledai,karena keledai saja tidak mau kakinya terantuk batu yang sama sampai dua kali.

Kecendrungan Nurmahmudi dan Bambang Sudibyo itu telah terjadi pada zaman pemerintahan Soekarno dulu,dengan alasan revolusi dan anti nekolim dimana lembaga2 negara yang adadikapling2 dan jadi perebutan kapling kekuatan sospol yang ada,sehingga tujuan pembentukan lembaga2 negara dalam pemerintahan Negara itu bergeser dari untuk pelayanan rakyatnya menjadi untuk kepentingan2 golongan yang menguasainya, sehingga yang terjadi adalah saling menjegal dan berebut di lembaga2 itu;Control/cek and balance,trias politika tidak berjalan, pemerintahan /birokrasi tidak jalan dan ahirnya semua dipolitisasi dan ahirnya amburadul dan ambrol.

Demikian halnya pada zaman Soeharto,politisasi lembaga2 negara dan pemerintahan terjadi dengan memonoloyalitaskan/menggolkarkan seluruh lembaga itu,ibarat di negara Komunis dimana seluruh lembaga dan jajarannya dibawah kendali dan penguasaan partai komunis, sehingga berekses ke pola otoriter/feodalistik yang dinegara kita menyuburkan KKN.

Cara berpikir revolusi pada zaman orde lamanya Soekarno,masih dapat dimengerti nalar,karena intelektual pada waktu itu masih sedikit, iklim dan cara pandang masih penuh dengan iklim revolusi yang baru lepas dari penjajahan Belanda/ Jepang yang tiba2 harus belajar mengelola sendiri negara.

Pada zaman Orde Barunya Soeharto hendak mencoba membenahi pengelolaan negara peninggalan Orde Lama menuju profesionalism,tetapi jatuh terperangkap ke sistim monoloyalitas kepada Mandataris MPR melalui Golkar(sebagai penghalusan/euphemism atas istilah otoriter yang feodalistik), sehingga semuanya serba top down,control/cek and balance,trias politika tidak berjalan,birokrasi berjalan untuk kepentingan penguasa/gusti sedang untuk pelayanan rakyat/kawulo tidak ada,KKN subur dan pada ahirnya amburadul dan ambrol.

Apakah sesudah negara ini merdeka 55 tahun,dimana intelektualnya sudah begitu banyak,pejabat2 Negaranya bergelar Prof.& DR tapi masih dapat mabuk dalam hendak mengelola Negara ini,kembali kepada cara berpikir sektarian seperti zaman Soekarno yang berlindung dibalik kata2 'revolusi'atau 'reformasi'?

Apakah tidak seharusnya dan sudah tiba saatnya para Prof.& DR.(gelar yang berindikasikan profesionalime), sebagai pejabat negara (milik semua rakyat dan tidak sektarian) juga berkata/ bertindak/berbuat secara professional pula,tidak mempolitisasi kekuasaan yang diberikan kepadanya?

Sistim pemerintahan di negara demokrasi yang dilandasi oleh azas pembagian kekuasaan /Trias Politika telah diuji dan teruji dan berhasil keluar sebagai sistim pemerintahan pemenang zaman ini dibandingkan dengan sistim pemerintahan non demokrasi yang diktator (komunis) yang telah ambruk dan sistim pemerintahan non demokrasi yang otoriter yang ada diberbagai negara sekarang yang telah sekarat atau sistim pemerintahan amburadul seperti zaman Soekarno yang lembaga2 pemerintahannya dikapling2 kekuatan politik yang ada.

Dinegara2 demokrasi yang telah maju sekarang dapat kita lihat dibedakan sistim rekruitmen pejabat2 negaranya (a.l menteri, legislator,ketua MA,pejabat Negara/ poliitis lainnya) dan rekruitmen atas pejabat2 birokrasi/publiknya atau karyawannya.

Pejabat2 Negaranya direkruit berdasarkan kekuatan politik yang terjadi dinegara itu,sedangkan rekruitmen pejabat2 birokrasi/publik/ karyawannya didasarkan kepada pertimbangan2 profesionalitas dari pejabat/personil yang akan ditempatkan.

Sistim rekruitmen pejabat birokrasi/publik/karyawan ini pada dasarnya yang terjadi dapat dibagi dua yaitu pertama dengan sistim karir/merit didalam lembaga itu atau bisa antar lembaga mulai level tertentu dan yang kedua dengan sistim rekruitmen kompetisi terbuka, dimana untuk jabatan2 itu mulai dari level terendah sampai tertinggi dapat saja diisi oleh siapa saja yang berminat baik dari dalam lembaga itu atau dari luar yang diseleksi berdasarkan kwalifikasi yang dipersyaratkan.

Untuk yang kedua ini,maka pejabat/karyawan itu terikat dengan kontrak2 kerja dan apabila masa kontrak telah habis dapat saja diperpanjang atau ybs. menarik diri keluar dari jabatan itu (mungkin karena adanya lowongan lain yang lebih menarik) Terdapat juga sistim rekruitmen campuran dimana bila ternyata tidak tersedia melalui jenjang karir,maka diadakan rekruitmen kompetisi untuk jabatan2 tsb,dan biasanya ini untuk jabatan2 dilevel menengah keatas.
Maka tidaklah mengherankan apabila kita membaca iklan lowongan pekerjaan dikoran diberbagai negara (maju) atau diinternet (a.l govtjobs.com) ditawarkan berbagai jabatan publik kepada siapa saja yang berminat.

Sepatutnya dan seyogyanya bila Nurmahmudi dan Bambang Sudibyo sebagai pejabat Negara yang menganggap bahwa ketentuan dan perundang2an sistim rekruitmen negara ini untuk pejabat2 birokrasi/publik/karyawan masih kurang fleksibel dalam menjaring personil yang mampu,maka segera diusulkan dibuatkan ketentuan perundangan yang memungkinkan rekruitmen secara kompetisi terbuka seperti diuraikan diatas (kalau perlu dengan Perpu dulu),bukan malah memaksakan kehendak dengan justru melanggar ketentuan perundangan yang ada,atau malah menyatakan bagi2 kekuasaan segala,yang justru masuk kedalam perangkap kegagalan sistim pemerintahan dan rekriutmen pejabat zaman ORLA dan ORBA .

Memang beginilah manusia yang walaupun telah dilabelin intelektual yang telah mengecam pendidikan super tinggi menjadi DR dan ada yang malah sudah biangnya DR alias Prof.,tapi kalau tiba2 diangkat jadi penguasa menjadi demam dan mabuk kuasa, sehingga tidak sadar bahwa tidakan2nya justru mengarah kepada pengulangan sejarah kegagalan yang lalu.

kelana