Monday, April 30, 2007

Kompas:Apa Arti DPD yang Sepi Peminat? (4/9-'03)

Kompas:Apa Arti DPD yang Sepi Peminat? Topic List < Prev Topic | Next Topic >
Reply | Forward < Prev Message | Next Message >

Dari tajuk rencana kompas ini dapat ditarik suatu kesimpulan:

Bahwa ternyata selama ini yang disebut pemimpin2/tokoh2 masyarakat itu tidak lain adalah bukan pemimpin2/tokoh2 yang lahir dari masyarakat itu tetapi pemimpin2/tokoh2 'jadi-jadian' artinya yang di drop dari atas,yang jadi pemimpin/tokoh karena diangkat ,bekingan dan restu dari atas saja.Yang tentu sebaliknya dia bekerja adalah sebagai pengabdi kepada atasannya bukan pengabdi masyarakat .

Budaya ini telah mengakar selama hampir 30 tahun masa Orba ,budaya rekruiting pemimpin/tokoh masyarakat itu dilaksanakan dengan pola patron klien,pola top down.

Begitu pola rekruiting calon tokoh/pemimpin itu dikembalikan kepada pola bottom up,pola mencari tokoh /pemimpin yang lahir dari masyarakat itu sendiri,maka para orang2 yang menamakan dirinya tokoh masyarakat itu,yang tetap masih ingin terus pada posisi ketokohannya jadi kelimpungan tak berdaya karena selama ini pola anutannya adalah patron klien ,pola restu dan bekingan dari atas.

GD



http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0309/04/opini/541852.htm

Apa Arti DPD yang Sepi Peminat?

PERTANYAAN ini sengaja kita lontarkan karena kita tidak tahu mengapa hanya sedikit orang yang berminat menjadi calon anggota Dewan Perwakilan Daerah. Apakah karena sadar akan beratnya tanggung jawab? Apakah karena beratnya langkah menuju ke sana? Ataukah karena tugas itu tidak memberikan imbalan yang memadai?

Tenggat akhir masa pendaftaran, kita tahu tinggal empat hari lagi. Setelah itu, Komisi Pemilihan Umum akan memeriksa kelengkapan administrasi para calon.

Calon-calon yang lolos pemeriksaan akan dipilih oleh kita, masyarakat umum, di masing-masing daerah, untuk didudukkan menjadi wakil daerah di dalam DPD.

TUGAS anggota DPD sangatlah mulia. Mereka adalah para senator yang akan memperjuangkan nasib rakyat dari daerah pemilihannya.

Berbeda dengan anggota Dewan Perwakilan Rakyat, yang hubungan dengan rakyat pemilihnya masih harus melalui partai politik, anggota DPD hubungannya langsung. Mereka berkomunikasi secara langsung dengan para pemilihnya, mendapat dukungan secara langsung, bertindak secara langsung, bahkan dimintai pertanggungjawaban secara langsung oleh rakyat pemilihnya.

Dalam Pasal 22 UUD 1945 ditetapkan, ruang lingkup tugas anggota DPD berkaitan erat dengan segala hal yang berhubungan dengan kepentingan rakyat di daerah. Mereka mengawasi pelaksanaan otonomi daerah, urusan pembentukan, penggabungan, dan pemekaran daerah, urusan hubungan pusat dan daerah, urusan pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi daerah, serta urusan perimbangan keuangan pusat dan daerah.

OLEH karena tugasnya yang begitu berat, maka kualifikasi anggota DPD yang dibutuhkan tidak bisa main-main. Mereka bukan harus paham denyut kehidupan rakyat di daerahnya, tetapi harus bergaul erat dengan rakyat yang diwakilinya di daerah itu.

Tidak lagi bisa seperti anggota parlemen sekarang, yang boleh ongkang-ongkang kaki saja di Senayan. Bisa berkelit untuk pura-pura tidak tahu persoalan rakyatnya dengan alasan bahwa ia tidak dipilih atau mewakili rakyat yang meminta perlindungan dari dirinya.

Anggota DPD mendatang adalah orang-orang yang di satu sisi harus berjuang habis-habisan untuk kepentingan rakyat pemilihnya, tetapi secara bersamaan juga harus memahami konteks kebersamaan sebagai satu bangsa. Mereka harus mau peduli dan toleran pula dengan nasib rakyat di daerah lainnya, yang meski bukan tanggung jawabnya, tetapi nasibnya sama dengan nasib rakyat di daerahnya.

TIDAKLAH salah apabila ada yang mengatakan, demokrasi yang dilaksanakan di Indonesia jauh lebih demokratis dari negara lain yang paling demokratis sekalipun. Paling tidak, proses yang harus dilalui setiap calon, entah itu calon presiden maupun calon anggota DPD, dalam pemilihan umum secara langsung yang pertama kali ini nanti, lebih gila-gilaan.

Mengapa kita katakan begitu? Sebab, untuk menjadi bakal calon anggota DPD saja, mereka harus mendapat dukungan dari 1.000 hingga 5.000 pemilih. Mereka itu harus tersebar sekurang-kurangnya di 25 persen dari kabupaten/kota yang ada di provinsi itu.

Dalam Pemilihan Umum 2004 nanti, mereka juga harus berkampanye ke seluruh provinsi agar dikenal masyarakatnya. Mereka harus berbicara dan meyakinkan para pemilih bahwa ia akan memperjuangkan nasib mereka.

JANGAN salah, kita tidak keberatan dengan proses yang panjang dan melelahkan seperti itu. Hanya saja, kita harus sadar akan kondisi Tanah Air kita. Selain ukuran setiap provinsi itu sangatlah besar, masyarakatnya pun tinggal tersebar di pelosok-pelosok.

Tidak usah jauh-jauh, ambil saja sebagai contoh, Jawa Barat. Provinsi paling dekat dengan Jakarta ini bukanlah perkara yang mudah untuk dijangkau. Untuk bisa mencapai Sukabumi Selatan ataupun Cianjur Selatan, kadang kita harus melewati sungai yang tidak ada jembatannya.

Untuk bisa menjangkau sebanyak mungkin para pemilihnya, bukan hanya dibutuhkan tenaga yang besar, tetapi dibutuhkan dana yang tidak sedikit. Kita belum berbicara soal "gizi", soal politik uang, ini benar-benar baru bicara soal biaya yang harus dikeluarkan untuk berkampanye, untuk menjual dirinya.

MEMANG benar, tidak ada politik yang tanpa uang. Hanya saja persoalannya, apalagi dalam situasi seperti sekarang ini, apakah pantas kita menghambur-hamburkan uang begitu besar untuk membangun demokrasi ini?

Sebagai perbandingan saja, seorang calon presiden di Amerika Serikat pun tidak dibiarkan jor-joran dalam melakukan kampanye. Bahkan, untuk konvensi partai politik hanya dibatasi di tiga tempat saja, tidak perlu harus di seluruh negara bagian.

Jangan lupa, mereka itu kampiun demokrasi. Mereka itu panutan kita dalam membangun demokrasi ini. Mereka jauh lebih kaya raya. Tetapi, mereka tetap membatasi kampanye agar tidak semua potensi ekonomi negara dihambur-hamburkan hanya untuk kepentingan politik.

TIDAK ada salahnya kita melihat kembali cara kita membangun demokrasi ini. Apakah kita biarkan habis-habisan seperti ini? Sampai-sampai siapa pun yang kelak terpilih, baik sebagai anggota DPD, DPRD, DPR, bahkan presiden sudah babak belur, karena semua dana sudah tersedot bagi proses menuju ke kursi tampuk pimpinan.

Kita ingin mengingatkan juga, kalau ukurannya hanya uang, yang kelak terpilih pastilah yang paling banyak uangnya. Padahal, kita tahu bahwa tidak semua orang yang berlimpah harta itu memiliki kepedulian terhadap rakyatnya, mau berbagi rasa dengan rakyatnya.

Yang kita butuhkan ke depan adalah wakil-wakil rakyat, pimpinan negara yang mempunyai keberpihakan kepada rakyatnya. Yang mengutamakan pengabdian bagi bangsa dan negaranya, bukan hanya mengusung kepentingan dirinya dan kelompoknya semata.

***