Monday, April 30, 2007

Minta dilaporkan /dibuktikan (27/8-'03)

Minta dilaporkan /dibuktikan Topic List < Prev Topic | Next Topic >
Reply | Forward < Prev Message | Next Message >

Dapat dilihat /dibaca (baca diberita Kompas dibawah) bagaimana pernyataan pejabat itu yang sepertinya tidak pernah/jarang terjadi seperti dikeluhkan itu:'Sebetulnya, kalau memang terjadi atau ditemukan kolusi dan korupsi antara pengemudi dan petugas penguji kendaraan, pihak Dishub selalu terbuka untuk menerima laporan seperti itu.Pengaduan itu hendaknya dikemukakan secara terbuka. "Sebut saja siapa nama petugas yang bisa diajak berkolusi itu? Tetapi, pelapor juga harus berani menyebutkan namanya sendiri supaya petugas yang mudah dibayar itu bisa ditindak tegas," ujar Rustam.'

Seperti pernah saya katakan maka para pejabat itu akan balik meminta bukti adanya korupsi itu dengan melaporkan siapa2 saja yang memeras/KKN itu.Katanya sipelapor akan dilindungi.

Selanjutnya kalau nantinya ada yang melaporkan,maka selanjutnya sipelapor akan dimintakan bukti2 materialnya karena tidak mungkin yang dilaporkan di tindak/diberi sanksi tanpa adanya bukti.

Tanpa adanya bukti atau ketangkap basah maka yang dilaporkan akan sumpah2 tidak pernah berbuat dan menyatakan hal itu adalah fitnah malah sebaliknya mungkin akan balik menuntut kepengadilan pejabat yang menuduh dia karena pencemaran nama baik.

Repot bukan!!?

Jadi pernyataan pejabat itu sebenarnya omong kosong doang. :-(

GD

http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0308/26/utama/511601.htm
Pengemudi Angkutan Umum Akan Dibebani SPAU

Jakarta, Kompas - Belum surut penolakan terhadap rencana pemerintah atas pemberlakuan uji kelaikan jalan atau kir kendaraan bermotor roda empat pribadi dan seluruh kendaraan roda dua yang akan dilaksanakan tahun 2004, pemerintah kembali membuat kejutan.

Kepada Kompas, Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta Rustam Effendy, Senin (25/8), menyatakan, beberapa bulan lagi semua pengemudi angkutan umum yang beroperasi di wilayah DKI Jakarta akan diwajibkan memiliki sertifikat pengemudi angkutan umum (SPAU). Sertifikat yang dikeluarkan Dinas Perhubungan (Dishub) DKI itu sangat berbeda dengan surat izin mengemudi (SIM) yang dikeluarkan kepolisian.

Rencana itu tentunya akan memberatkan para pengemudi angkutan umum. Sebab, untuk mendapatkan SPAU, seorang pengemudi harus terlebih dahulu memiliki SIM B-Umum.

Menurut Rustam, pekan lalu Menteri Perhubungan Agum Gumelar sudah menandatangani surat keputusan menteri yang mengatur soal SPAU. Sertifikat itu, katanya, nantinya akan digunakan sebagai lisensi untuk menyatakan bahwa seorang pengemudi layak mengemudikan angkutan umum, seperti bus, taksi, dan mikrolet.

Selain harus memiliki SIM B-Umum, pengemudi juga diharuskan mengikuti pendidikan dan pelatihan yang diselenggarakan Dishub DKI selama dua minggu.

"Tujuannya, pengemudi diharapkan tidak menjadi pengemudi ugal-ugalan," kata Rustam. Soal biaya memperoleh SPAU, Rustam mengatakan, sampai saat ini hal tersebut belum ditentukan. Yang jelas, biaya itu dijadikan sumber pendapatan asli daerah (PAD).

Rustam bahkan menegaskan, pengemudi yang tidak memiliki Sim B-Umum dan SPAU dapat ditindak tegas oleh kepolisian maupun Dishub, berupa penilangan. Semua itu dilakukan demi penegakan hukum dalam berlalu lintas.

Penyelewengan

Lebih jauh Rustam mengemukakan, sejumlah kalangan masyarakat sudah sering mengecap terjadinya penyelewengan kir di tingkat teknis Dishub DKI. Sebetulnya, kalau memang terjadi atau ditemukan kolusi dan korupsi antara pengemudi dan petugas penguji kendaraan, pihak Dishub selalu terbuka untuk menerima laporan seperti itu.

Pengaduan itu hendaknya dikemukakan secara terbuka. "Sebut saja siapa nama petugas yang bisa diajak berkolusi itu? Tetapi, pelapor juga harus berani menyebutkan namanya sendiri supaya petugas yang mudah dibayar itu bisa ditindak tegas," ujar Rustam.

Ia berjanji, setiap pelapor yang berani menunjukkan pegawai Dishub yang mudah diajak kolusi dalam pengujian kir maupun perolehan SPAU akan dilindungi.

Menyinggung tentang anggota Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ) Dinas Perhubungan DKI yang belakangan ini sering melakukan pemeriksaan terhadap sopir angkutan umum di jalan-jalan di Jakarta, Kepala Subdinas LLAJ Dishub DKI Jakarta Sunugroho mengatakan, hal itu dilakukan untuk memeriksa kelengkapan surat-surat angkutan umum.

"Seperti surat izin usahanya, apakah sudah mati atau belum? Apa kendaraannya sudah dikir atau belum? Bagaimana dengan kelengkapan kendaraan itu sendiri? Kan, mereka itu membawa penumpang," ucapnya.

Sebenarnya, menurut Karmanto (pengemudi taksi yang enggan menyebutkan perusahaannya), kalau kir dilaksanakan sesuai dengan aturan, tidak perlu lagi petugas LLAJ berkeliaran di jalan, seperti polisi.

"Bila petugas LLAJ masih berkeliaran di jalan, itu berarti pelaksanaan kirnya selama ini benar-benar buruk," katanya ketus.

Meragukan

Peneliti Urban and Regional Development Institute (URDI) Desi Rijanti sangat meragukan "kebersihan" pelaksanaan kir itu. "Siapa yang dapat menjamin kalau kir tidak menimbulkan kolusi atau bahkan pemerasan. Saya secara pribadi menolak gagasan (kir untuk mobil pribadi dan semua kendaraan bermotor roda dua) itu," katanya.

Menurut dia, alasan mengurangi pencemaran udara di Jakarta dengan cara melangsungkan uji emisi gas buang hanyalah dicari-cari. "Jika kir diberlakukan, apa iya sih Jakarta bisa bebas dari pencemaran. Kalau memang ada jaminan, silakan saja," ujarnya.

Pesimisme seperti itu juga muncul di kalangan pemilik kendaraan pribadi. Hampir semua pengguna mobil menganggap, kir hanya cara mengeruk uang rakyat. "Wah, duit lagi itu," kata beberapa polisi yang ditemui di Kepolisian Sektor Duren Sawit.

Bahkan, Kompas mendapatkan surat kaleng dari seseorang dengan nada memaki-maki.

Peneliti dari Public Interest Research and Advocacy Center (PIRAC) As'ad Nugroho mengatakan, tanpa ada mekanisme kontrol dan transparansi, kir hanya menambah deretan kolusi pejabat dan pelaksana kir. Namun, dia sendiri sepakat dengan substansi kir itu.

"Secara substansi, tidak ada yang salah dengan kir itu. Kalau tidak dilakukan, kondisi jalan raya akan amburadul, tidak ada jaminan keselamatan," katanya.

Hanya saja, budaya percaloan dan titip surat itu belum bisa dihilangkan di Indonesia sehingga masyarakat pun menjadi pesimistis.

Jika memang akan diberlakukan, harus ada transparansi proses kir, dan ditetapkan biayanya tidak lebih dari Rp 50.000. Juga, waktu kir itu dipercepat karena orang punya kesibukan.

"Sebenarnya, kir itu kan murah saja, hanya Rp 35.000-an. Tapi, praktiknya, ban mobil tidak ada pentilnya saja pemiliknya harus membayar Rp 10.000. Kir akhirnya menelan biaya sampai Rp 200.000, bahkan mungkin lebih. Nah, inilah yang harus dihilangkan," papar As’ad. (OSA/NIC/IVV)