Monday, April 30, 2007

Kompas:Apa Arti DPD yang Sepi Peminat? (4/9-'03)

Kompas:Apa Arti DPD yang Sepi Peminat? Topic List < Prev Topic | Next Topic >
Reply | Forward < Prev Message | Next Message >

Dari tajuk rencana kompas ini dapat ditarik suatu kesimpulan:

Bahwa ternyata selama ini yang disebut pemimpin2/tokoh2 masyarakat itu tidak lain adalah bukan pemimpin2/tokoh2 yang lahir dari masyarakat itu tetapi pemimpin2/tokoh2 'jadi-jadian' artinya yang di drop dari atas,yang jadi pemimpin/tokoh karena diangkat ,bekingan dan restu dari atas saja.Yang tentu sebaliknya dia bekerja adalah sebagai pengabdi kepada atasannya bukan pengabdi masyarakat .

Budaya ini telah mengakar selama hampir 30 tahun masa Orba ,budaya rekruiting pemimpin/tokoh masyarakat itu dilaksanakan dengan pola patron klien,pola top down.

Begitu pola rekruiting calon tokoh/pemimpin itu dikembalikan kepada pola bottom up,pola mencari tokoh /pemimpin yang lahir dari masyarakat itu sendiri,maka para orang2 yang menamakan dirinya tokoh masyarakat itu,yang tetap masih ingin terus pada posisi ketokohannya jadi kelimpungan tak berdaya karena selama ini pola anutannya adalah patron klien ,pola restu dan bekingan dari atas.

GD



http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0309/04/opini/541852.htm

Apa Arti DPD yang Sepi Peminat?

PERTANYAAN ini sengaja kita lontarkan karena kita tidak tahu mengapa hanya sedikit orang yang berminat menjadi calon anggota Dewan Perwakilan Daerah. Apakah karena sadar akan beratnya tanggung jawab? Apakah karena beratnya langkah menuju ke sana? Ataukah karena tugas itu tidak memberikan imbalan yang memadai?

Tenggat akhir masa pendaftaran, kita tahu tinggal empat hari lagi. Setelah itu, Komisi Pemilihan Umum akan memeriksa kelengkapan administrasi para calon.

Calon-calon yang lolos pemeriksaan akan dipilih oleh kita, masyarakat umum, di masing-masing daerah, untuk didudukkan menjadi wakil daerah di dalam DPD.

TUGAS anggota DPD sangatlah mulia. Mereka adalah para senator yang akan memperjuangkan nasib rakyat dari daerah pemilihannya.

Berbeda dengan anggota Dewan Perwakilan Rakyat, yang hubungan dengan rakyat pemilihnya masih harus melalui partai politik, anggota DPD hubungannya langsung. Mereka berkomunikasi secara langsung dengan para pemilihnya, mendapat dukungan secara langsung, bertindak secara langsung, bahkan dimintai pertanggungjawaban secara langsung oleh rakyat pemilihnya.

Dalam Pasal 22 UUD 1945 ditetapkan, ruang lingkup tugas anggota DPD berkaitan erat dengan segala hal yang berhubungan dengan kepentingan rakyat di daerah. Mereka mengawasi pelaksanaan otonomi daerah, urusan pembentukan, penggabungan, dan pemekaran daerah, urusan hubungan pusat dan daerah, urusan pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi daerah, serta urusan perimbangan keuangan pusat dan daerah.

OLEH karena tugasnya yang begitu berat, maka kualifikasi anggota DPD yang dibutuhkan tidak bisa main-main. Mereka bukan harus paham denyut kehidupan rakyat di daerahnya, tetapi harus bergaul erat dengan rakyat yang diwakilinya di daerah itu.

Tidak lagi bisa seperti anggota parlemen sekarang, yang boleh ongkang-ongkang kaki saja di Senayan. Bisa berkelit untuk pura-pura tidak tahu persoalan rakyatnya dengan alasan bahwa ia tidak dipilih atau mewakili rakyat yang meminta perlindungan dari dirinya.

Anggota DPD mendatang adalah orang-orang yang di satu sisi harus berjuang habis-habisan untuk kepentingan rakyat pemilihnya, tetapi secara bersamaan juga harus memahami konteks kebersamaan sebagai satu bangsa. Mereka harus mau peduli dan toleran pula dengan nasib rakyat di daerah lainnya, yang meski bukan tanggung jawabnya, tetapi nasibnya sama dengan nasib rakyat di daerahnya.

TIDAKLAH salah apabila ada yang mengatakan, demokrasi yang dilaksanakan di Indonesia jauh lebih demokratis dari negara lain yang paling demokratis sekalipun. Paling tidak, proses yang harus dilalui setiap calon, entah itu calon presiden maupun calon anggota DPD, dalam pemilihan umum secara langsung yang pertama kali ini nanti, lebih gila-gilaan.

Mengapa kita katakan begitu? Sebab, untuk menjadi bakal calon anggota DPD saja, mereka harus mendapat dukungan dari 1.000 hingga 5.000 pemilih. Mereka itu harus tersebar sekurang-kurangnya di 25 persen dari kabupaten/kota yang ada di provinsi itu.

Dalam Pemilihan Umum 2004 nanti, mereka juga harus berkampanye ke seluruh provinsi agar dikenal masyarakatnya. Mereka harus berbicara dan meyakinkan para pemilih bahwa ia akan memperjuangkan nasib mereka.

JANGAN salah, kita tidak keberatan dengan proses yang panjang dan melelahkan seperti itu. Hanya saja, kita harus sadar akan kondisi Tanah Air kita. Selain ukuran setiap provinsi itu sangatlah besar, masyarakatnya pun tinggal tersebar di pelosok-pelosok.

Tidak usah jauh-jauh, ambil saja sebagai contoh, Jawa Barat. Provinsi paling dekat dengan Jakarta ini bukanlah perkara yang mudah untuk dijangkau. Untuk bisa mencapai Sukabumi Selatan ataupun Cianjur Selatan, kadang kita harus melewati sungai yang tidak ada jembatannya.

Untuk bisa menjangkau sebanyak mungkin para pemilihnya, bukan hanya dibutuhkan tenaga yang besar, tetapi dibutuhkan dana yang tidak sedikit. Kita belum berbicara soal "gizi", soal politik uang, ini benar-benar baru bicara soal biaya yang harus dikeluarkan untuk berkampanye, untuk menjual dirinya.

MEMANG benar, tidak ada politik yang tanpa uang. Hanya saja persoalannya, apalagi dalam situasi seperti sekarang ini, apakah pantas kita menghambur-hamburkan uang begitu besar untuk membangun demokrasi ini?

Sebagai perbandingan saja, seorang calon presiden di Amerika Serikat pun tidak dibiarkan jor-joran dalam melakukan kampanye. Bahkan, untuk konvensi partai politik hanya dibatasi di tiga tempat saja, tidak perlu harus di seluruh negara bagian.

Jangan lupa, mereka itu kampiun demokrasi. Mereka itu panutan kita dalam membangun demokrasi ini. Mereka jauh lebih kaya raya. Tetapi, mereka tetap membatasi kampanye agar tidak semua potensi ekonomi negara dihambur-hamburkan hanya untuk kepentingan politik.

TIDAK ada salahnya kita melihat kembali cara kita membangun demokrasi ini. Apakah kita biarkan habis-habisan seperti ini? Sampai-sampai siapa pun yang kelak terpilih, baik sebagai anggota DPD, DPRD, DPR, bahkan presiden sudah babak belur, karena semua dana sudah tersedot bagi proses menuju ke kursi tampuk pimpinan.

Kita ingin mengingatkan juga, kalau ukurannya hanya uang, yang kelak terpilih pastilah yang paling banyak uangnya. Padahal, kita tahu bahwa tidak semua orang yang berlimpah harta itu memiliki kepedulian terhadap rakyatnya, mau berbagi rasa dengan rakyatnya.

Yang kita butuhkan ke depan adalah wakil-wakil rakyat, pimpinan negara yang mempunyai keberpihakan kepada rakyatnya. Yang mengutamakan pengabdian bagi bangsa dan negaranya, bukan hanya mengusung kepentingan dirinya dan kelompoknya semata.

***

Budi Darma :Korupsi dan Budaya (4/9-'03)

Budi Darma :Korupsi dan Budaya Topic List < Prev Topic | Next Topic >
Reply | Forward < Prev Message | Next Message >
Sebuah tulisan yang membeberkan akar masalah dan latar belakang mengguritanya KKN yang melanda Negeri tercinta ini yang membuat kita gusar akan masa depan anak cucu.

GD

http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0309/03/opini/534884.htm

Korupsi dan Budaya

Oleh Budi Darma

Sebuah radio swasta baru-baru ini menyiarkan isu politik uang pada suatu pemilihan kepala daerah. Salah seorang yang diduga terlibat dengan enak berkata, "Juru parkir saja menerima upah, masakan seseorang yang menaikkan orang lain menjadi kepala daerah dan wakil kepala daerah tidak dapat apa-apa." Lalu, dengan enak dia bercerita mengenai jumlah uang muka yang diterima dan jumlah uang lain setelah dua pejabat itu lulus uji publik. Gayanya benar-benar enak.

Jangan heran mengenai isu politik uang dalam soal jabatan. Nenek moyang kita dulu pernah menciptakan puisi yang tampaknya main-main namun serius: "Burung kenari berkekah/berkekah di tengah padang//Jika tidak berani menjarah/tiada syah menjadi hulubalang". Demikianlah, untuk menjadi hulubalang seseorang harus mempunyai keberanian menjarah. Tentu saja menjarah agar memperoleh kedudukan hulubalang. Dan, mudah diterka, untuk mempertahankan jabatannya, dia selamanya harus menjarah. Siapa yang dijarah mudah diterka: mula-mula rakyat, lalu, bila sudah menjabat, uang negara dan uang rakyat.

Jangan heran pula manakala kita merenungkan kembali pengakuan Nicolaas Engelhard, Gubernur Pantai Timur Laut Jawa, dalam memorinya tanggal 15 April 1805. Sebagaimana dikisahkan Dukut Imam Widodo, penulis buku Soerabaia Tempo Doeloe, Engelhard menjadi kaya raya karena uang sogokan orang-orang pribumi yang menginginkan jabatan. Seorang pribumi yang ingin memperoleh jabatan memberi upeti kepada dia berupa uang, barang, dan jasa lain, yang jumlahnya sesuai jenjang jabatannya. Untuk satu jabatan yang diincar beberapa orang, dia mendapat upeti dari semua orang itu. Dia tinggal memilih pemberi upeti terbesar untuk menentukan siapa yang layak diberi jabatan.

Ceritanya sama, untuk menyogok, dia harus mengambil uang rakyat. Dan, bila sudah menjabat dia akan mengambil uang negara dan uang rakyat. Jabatan, dengan demikian, bukan amanah untuk kemaslahatan orang banyak, bukan pula untuk kebanggaan demi pengabdian. Jabatan identik dengan uang. Karena itu, harus dibeli dengan uang juga.

Ada pula sebuah kejadian lucu, juga terjadi pada sebuah pemilihan kepala dan wakil kepala daerah. Waktu itu tampil seorang tokoh yang terkenal karismatis dan kata-katanya banyak dijadikan pedoman. Dengan gencar dia membuat pernyataan bahwa Si Bilun harus menjadi kepala daerah. Publik pun meramalkan Si Bilun pasti akan menang. Sebab, bukankah pendukungnya adalah orang terkenal yang amat karismatis? Maka, berjalanlah proses pemilihan. Si Bilun kalah, padahal, menurut banyak isu, dia sudah mengeluarkan banyak uang. Betapa banyak pun dia sudah mengeluarkan uang, kata orang, dia kalah karena lawannya sanggup mengeluarkan uang lebih banyak. Tokoh karismatis pun bisa kehilangan karismanya karena uang.

Para tokoh

Seseorang yang akan menjadi pejabat, pemimpin, atau entah apa pun namanya yang punya kedudukan, pasti seorang tokoh, paling tidak merasa dirinya sebagai tokoh. Lalu, lihatlah apa yang terjadi sejak tahun 1980-an. Begitu banyak buku biografi terbit. Tentu saja, seseorang yang layak diterbitkan biografinya adalah seorang tokoh. Namun, bila disimak, ternyata banyak di antara mereka yang menerbitkan buku biografinya itu tidak dikenal. Kalau pun dikenal hanya di kalangan kecil yang tidak cukup signifikan manakala autobiografinya diterbitkan dalam bentuk buku, lalu dijual di kedai-kedai buku.

Tentu saja tanda tanya bisa muncul. Pertama, orang-orang yang mengupah orang lain untuk membuat buku biografinya itu pasti seorang tokoh dan ketokohannya layak dijadikan teladan bagi masyarakat luas. Kedua, mungkin orang- orang itu hanya merasa dirinya sebagai tokoh. Ketokohannya diukur dengan seleranya sendiri dan kalangan kecil di sekitarnya yang pada hakikatnya tidak mewakili siapa-siapa. Maka, lahirlah tokoh-tokohan.

Ketidaksadaran kolektif

Ada suatu peristiwa pada Mei 1998 yang mungkin menarik. Tanpa ada yang menggerakkan, di lapangan terbuka di sebuah kampus PTN di Surabaya, dalam waktu singkat, sekonyong-konyong ratusan mahasiswa berkumpul, dengan spontanitas tinggi, tanpa direncanakan. Lalu, dengan serempak mereka berjalan mengelilingi kampus dengan menyanyikan lagu Menanam Jagung yang liriknya secara spontan pula diubah menjadi lirik antipemerintahan Orde Baru saat itu.

Mengapa ada gerakan yang demikian spontan? Tak lain, inilah yang dinamakan ketidaksadaran kolektif. Para mahasiswa, sebagai bagian masyarakat luas, selama bertahun-tahun tidak sadar bahwa mereka sebetulnya sudah tidak lagi menyukai pemerintahan Orde Baru. Begitu ketidaksadaran ini mencapai titik puncak inkubasi, meledaklah gerakan spontan dibumbui nada geram. Inilah yang terjadi pada masa reformasi: ketidaksadaran bersama telah menggerakkan masyarakat luas untuk bersatu padu.

Apa yang terjadi dalam proses reformasi adalah, antara lain, lahirnya tokoh-tokoh kecil. Munculnya tokoh-tokoh kecil ini tidak sekonyong-konyong, tetapi didahului embrionya mulai awal tahun 1980-an ketika tokoh maupun tokoh-tokohan gemar mengupah orang lain untuk menuliskan biografi mereka.

Oleh karena itu, jangan heran bila kemudian muncul sekian banyak partai gurem, yang tentu saja, dipimpin oleh mereka yang merasa dirinya tokoh. Alasannya bisa bermacam-macam, misalnya, keprihatinan terhadap kebobrokan negara, obsesi untuk menyumbangkan tenaga, dan pikiran guna membangun kembali bangsa melalui partai serta berbagai macam idealisme lain. Tentu saja alasan-alasan itu bisa benar. Namun, seandainya para tokoh atau tokoh-tokohan itu tidak ingin dianggap sebagai tokoh, tentu ada jalan lain untuk membangun kembali negara ini.

Budaya burung kenari berkekah

Embrio munculnya banyak calon presiden (capres) sebetulnya sudah hadir dalam atmosfer Indonesia sejak awal tahun 1980-an: begitu banyak orang yang merasa dirinya tokoh. Munculnya banyak capres tidak lain kelanjutan dari munculnya sekian banyak partai. Semuanya berkaitan, saling berhubungan.

Tentu saja, seperti munculnya banyak partai dengan berbagai alasan idealisme, muncul begitu banyak capres juga dilandasi alasan idealisme. Namun, mungkin juga ada gejala lain: seseorang menjadi capres karena diminta, bukan meminta, pikir mereka sendiri. Seseorang yang diminta tentu dipandang mampu. Berdasar keyakinan merasa mampu itulah, sekian banyak capres bermunculan.

Marilah kita tengok olok-olok Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi, pujangga awal kita, yang diklaim sebagai pujangga awal Singapura, Malaysia, dan Brunei Darussalam. Ia mengkritik para raja saat itu karena kerja mereka adalah menindas rakyat. Berbagai macam korupsi-antara lain penarikan pajak yang berat-mereka lakukan dengan enak.

Pernyataan Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi tak lain adalah masalah budaya: kekuasaan bukan untuk kesejahteraan rakyat, tetapi demi kekuasaan itu sendiri dan demi harta. Upeti untuk mendapat jabatan, sebagaimana dikemukakan Nicolaas Engelhard, tidak lain merupakan masalah budaya, demikian pula makna puisi Burung Kenari Berkekah.

Jalan tak ada ujung

Dalam novel Jalan Tak Ada Ujung, Mochtar Lubis berkisah mengenai keadaan periode awal revolusi Indonesia di Jakarta. Semua orang saat itu terbawa arus keadaan waktu itu, tanpa mempunyai kemampuan untuk menciptakan keadaan dengan atmosfer baru. Kita juga terbawa arus. Karena itu, setidaknya kata orang, korupsi makin berlarut-larut. Jabatan adalah, kata orang lagi, lahan paling enak untuk korupsi.

Lalu, tengok novel Ernest Hemingway The Sun Also Rises. Perang Dunia I telah menjerumuskan dunia Barat ke ambang kehancuran moral dan spiritual. Begitu kelamnya keadaan pada waktu itu sehingga, tampaknya, Matahari tidak akan terbit lagi esok pagi.

Namun, akhirnya, dalam keadaan porak-poranda, optimisme masih muncul juga: The Sun Also Rises, Matahari bagaimana pun akan terbit kembali, demikian juga segala macam kebobrokan dalam Jalan Tak Ada Ujung.

Kapan kita menemukan ujung jalan? Dan, kapan Matahari segar akan terbit kembali?

Budi Darma Sastrawan

Djohan Effendi:Pemberantasan KKN, Mungkinkah? (4/9-'03)

Djohan Effendi:Pemberantasan KKN, Mungkinkah? Topic List < Prev Topic | Next Topic >
Reply | Forward < Prev Message | Next Message >
Rasionalisasi pegawai negeri RI memang sudah saatnya dilakukan karena begitu tidak efisiennya kerja birokrasi pemerintahan RI itu.

Kelebihan pegawai negeri ini adalah produk Orba yang membuat lembaga birokrasi pemerintahan itu menjadi lembaga social ketenagakerjaan sekaligus lembaga politik sebagai salah satu pilar Golkar disamping dua pilar lainnya yaitu ABRI (sebutan waktu itu) dan Ormas2 Golkar.

Djohan ini kelihatannya terlampau terpukau pada gaji resmi pegawai negeri yang rendah itu.

Djohan tidak melihat 'take home pay' resmi pegawai negeri itu.
Hampir semua instansi mengadakan insentif2 kepada pegawainya yang diperoleh secara resmi melalui anggaran baik APBN atau APBD.

Pada instansi pusat maupun daerah yang ada mengelola anggaran pembangunan maka terdapat alokasi pada anggaran itu untuk operasional pembangunan yang besarnya berkisar 5 s/d 10 % yang juga diperuntukkan untuk kesejahteraan pegawai instansi ybs.

Demikian halnya dinstansi2 pemungut pajak,bea cukai dan retribusi baik pusat maupun daerah maka sekitar 5% dari hasil pemungutan itu langsung digunakan untuk operasional instansi itu.
Hanya bagaimana proporsi pembagian alokasi anggaran operasional itu mulai dari pegawai terendah s/d tertinggi tergantung kepada pimpinan2 instansi itu .

Masalah penggajian pegawai negeri itu memang perlu mendapat perhatian tetapi bukan itu merupakan akar masalah utama dari terjadinya KKN itu

Sudah merupakan rahasia umum bahwa di lembaga legislatif baik pusat maupun daerah yang para anggotanya telah diberi pendapatan jauh diatas gaji pegawai negeri gol .IV-E masih ramai dengan amplop2 berisi wang atau traveller check yang berseliweran tiap hari.

Saya melihat bahwa masalah utamanya adalah masalah budaya KKN yang sudah merasuki masyarakat itu disatu sisi dan masalah kesadaran hukum (positif) yang rendah serta law enforcement yang tidak berjalan disisi yang lain.

Kesadaran hukum sebagian besar masyarakat kita menyangkut KKN itu masih berada pada kesadaran hukum tradisional/tidak tertulis seperti kata Rahmat Subagya " Mencuri buah dari orang sedesa merupakan dosa,sedangkan dari orang lain atau dari negara tidak disertai rasa salah"

Budaya KKN itu akan berangsur2 berkurang bila kesadaran hukum (positif) itu meningkat yang diperoleh dengan law enforcement yang tegas.Tetapi sebaliknya juga law enforcement yang tegas akan dapat dilaksanakan bila kesadaran hukum positif itu telah tinggi.
Hal ini sangat dilematis karena dua aspek itu sangat berkaitan erat dan yang mana yang harus terlebih dahulu merupakan masalah tersendiri pula tetapi paling tidak akar masalah utama itu sebenarnya di kedua aspek itu.

Untuk ini diperlukan pemimpin negeri ini yang berkesadaran hukum positif yang tinggi,berintegritas tinggi untuk bisa melaksanakan law enforcement yang tegas dan berkesinambungan.

GD



http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0309/02/opini/
Pemberantasan KKN, Mungkinkah?
* Masukan untuk Para Calon Presiden

Oleh Djohan Effendi

Tulisan ini terutama saya tujukan kepada para calon presiden yang, bila kelak terpilih, akan memimpin negara kita yang kini masih bergumul dengan keterpurukan akibat krisis multidimensi. Keinginan ini muncul saat mengikuti paparan beberapa calon presiden dalam acara di televisi tentang apa yang akan menjadi program utama mereka dalam usaha membawa bangsa ini ke luar dari situasi krisis.

Hampir semua calon presiden berbicara tentang masalah korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) sebagai salah satu tantangan yang harus diberantas. Mudah- mudahan, bila ada nilainya, bisa dijadikan bahan masukan dalam mengisi masa depan bangsa kita. Saya ingin mulai dengan pengalaman yang amat pribadi.

Mulai 1 Maret lalu saya memasuki masa pensiun dua tahun sebelum waktunya. Percepatan ini adalah atas permintaan saya sendiri. Saya bekerja sebagai pegawai negeri sejak 43 tahun lalu, 1 April 1960. Dalam karier sebagai pegawai negeri, saya telah mencapai posisi puncak. Dalam jabatan struktural, saya pernah berada di eselon satu sebagai Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Agama Departemen Agama, sedangkan untuk jabatan fungsional, saya sebagai ahli peneliti utama.

Pangkat dan golongan saya adalah lV/e. Karena itu, gaji pokok pensiun saya adalah jumlah yang tertinggi selaku pegawai negeri RI, yaitu Rp 1.125.000 (satu juta seratus dua puluh lima ribu rupiah). Jumlah ini akan ditambah tunjangan istri 10 persen dan tunjangan beras 20 kg.

Saya masih beruntung karena memperoleh pensiun lain selaku bekas sekretaris negara, sebesar Rp 650.000 (enam ratus lima puluh ribu rupiah) ditambah tunjangan istri 10 persen.

Alhasil, setelah 43 tahun bekerja sebagai pegawai negeri dan 13 bulan sebagai sekretaris negara, jumlah pensiun yang saya terima sekitar Rp 2.000.000 (dua juta rupiah) per bulan. Lumayan untuk sekadar menikmati sisa hidup suami istri di rumah sederhana tanpa mobil, telepon, mungkin juga tanpa kulkas untuk menghemat listrik dengan harapan badan tetap sehat sehingga tidak perlu ke dokter dan beli obat di apotek dan tidak memperoleh undangan menghadiri pesta perkawinan.

MELIHAT kenyataan itu, bisa ditarik kesimpulan, amat sulit dibayangkan seorang pejabat untuk tidak melakukan korupsi. Sebab, tanpa melakukan korupsi, agaknya tidak mungkin seorang pegawai negeri yang mengandalkan hidupnya pada gaji semata mampu membangun atau membeli rumah besar dan mobil pribadi, menyekolahkan anak-anaknya ke perguruan tinggi, atau untuk menunaikan ibadah haji bagi yang Muslim atau melaksanakan pesta perkawinan yang mewah dan meriah.

Dengan mengemukakan keberuntungan saya sebagai pensiunan pegawai negeri, saya ingin menarik perhatian para politisi kita yang berkaok-kaok tentang pemberantasan KKN. Pemberantasan KKN di negeri kita adalah sebuah mission impossible, omong kosong. Maka, tidaklah terlalu mengherankan bila semua usaha pemerintah untuk memberantas KKN akan berakhir dengan kesia-siaan.

Itulah kondisi obyektif yang amat besar perannya dalam kesemarakan KKN di negeri kita. Birokrasi yang korup tidak hanya merugikan negara, tetapi juga amat membebani rakyat yang seharusnya memperoleh pelayanan sewajarnya. Boleh dikata semua program pemerintah, rutin atau proyek, tidak pernah diwujudkan sesuai dengan anggaran riil, apa adanya.

Praktik mark up anggaran dan/atau pemberian komisi adalah kenyataan yang pasti terjadi meski tidak dibuktikan. Praktik suap-menyuap yang amat merugikan masyarakat adalah kenyataan sehari-hari yang terjadi di semua jenjang birokrasi. Rakyat terpaksa mengeluarkan biaya sejak urusan kecil, seperti perolehan KTP, hingga urusan besar di pusat.

Semua urusan yang berkait dengan keharusan memperoleh izin adalah lahan untuk menambah penghasilan bagi pegawai negeri yang terkait pemberian izin. Dari tukang agenda surat masuk hingga pejabat yang berwenang memberi izin. Lebih-lebih di lingkungan yang berkaitan dengan pendapatan negara, seperti perpajakan dan bea cukai. Ini baru di lingkungan eksekutif.

Lingkungan lain, seperti yudikatif dengan segala instansinya, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, sampai-sampai rumah pemasyarakatan, tidak sunyi dari praktik korupsi. Demikian pula di lingkungan legislatif. Pendek kata, nyaris tidak ada ruang dalam pemerintahan kita yang bersih dari KKN.

KONDISI menyedihkan yang dialami pegawai negeri ini agaknya mulai terasa sejak bangsa kita ada dalam alam Demokrasi Terpimpin, ketika kontrol sosial makin melemah. Untuk sekadar memberi gambaran, gaji yang diterima pegawai negeri masa itu jauh lebih baik, dapat dilihat dari kecukupan seorang pelajar yang menerima ikatan dinas, baik di tingkat SLTP maupun SLTA. Ikatan dinas seorang pelajar sekolah guru tingkat SLTP sebesar Rp 152 (seratus lima puluh dua rupiah) dan sekolah kejuruan lain di tingkat SLTA sebesar Rp 172 (seratus tujuh puluh dua rupiah).

Jumlah sebesar itu cukup untuk membayar indekos dan biaya hidup sehari-hari, seperti jajan dan nonton di bioskop, bahkan kalau lebih hemat bisa menabung sekadarnya tanpa memperoleh tambahan kiriman wesel dari orangtua. Kira-kira sama dengan beasiswa yang diperoleh seorang mahasiswa di universitas di luar negeri saat ini. Karena itu, gaji yang diterima seorang pegawai negeri bisa diperkirakan cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Zaman normal ini berakhir sekitar awal tahun 1960-an. Setelah itu, bangsa kita mengalami masa tidak normal yang panjang dan entah kapan akan berakhir.

Jika menyadari kenyataan itu, akan terasa aneh bila saat ini orang masih berbicara tentang pemerintahan yang bersih, tentang good governance, dan sebagainya. Agaknya tak lebih dari pungguk merindukan bulan. Tragis dan ironis sekali justru di masa kini, yang disebut sebagai era reformasi yang lahir sebagai protes terhadap pemerintahan Orde Baru yang dianggap penuh KKN, keadaannya, kata banyak orang, menjadi lebih buruk, lebih parah, dan lebih merata.

TULISAN ini bernada pesimistis bahkan nyaris putus asa. Apa boleh buat, karena saya tidak punya alasan untuk bersikap optimistis. Dalam situasi batin yang pesimistis, saya ingin mencoba menyodorkan langkah yang bisa diambil, bila mungkin untuk memperbaiki keadaan atau paling tidak untuk menahan agar bangsa kita tidak lebih terpuruk dalam kesemarakan praktik KKN.

Langkah tersebut adalah rasionalisasi birokrasi negara. Reformasi tanpa rasionalisasi birokrasi rasanya tidak lebih dari sebuah dagelan. Mengapa rasionalisasi birokrasi? Sebab, negara kita adalah negara birokrasi. Hampir semua bidang kehidupan kita tidak lepas dari birokrasi.

Situasi birokrasi negara kita tidak banyak berbeda dengan PT Dirgantara Indonesia. Negara kita amat dibebani jumlah pegawai negeri yang amat besar, tetapi tidak efisien dan tidak produktif. Lebih membebani daripada melayani masyarakat.

Dengan menganalogikan birokrasi kita dengan PT Dirgantara Indonesia, saya ingin menekankan langkah rasionalisasi birokrasi harus bermula dengan pengurangan jumlah pegawai secara besar-besaran. Sebagian besar pegawai negeri harus dirumahkan (bukan dikenai PHK). Artinya, mereka tidak diberhentikan, hanya dinonaktifkan. Gaji mereka yang dirumahkan tetap dibayar sampai masa pensiun tiba. Asuransi kesehatan yang berlaku bagi pegawai negeri juga tetap diberlakukan untuk mereka.

Dengan merumahkan sebagian besar pegawai negeri, akan terjadi penghematan listrik, telepon, ruangan, alat-alat perkantoran, kendaraan, dan sebagainya. Tentu di antara mereka yang dirumahkan masih banyak yang berusia produktif. Untuk mereka, seyogianya diberi kemudahan membuka lapangan kerja baru. Selain kemudahan untuk memperoleh kredit, prosedur untuk memperoleh izin usaha harus disederhanakan, diperlancar, dan dipersingkat tanpa pungutan liar yang telah membudaya di masyarakat.

Untuk satu dua tahun pertama, mereka hendaknya diberi keringanan pajak. Mereka yang masih dipekerjakan adalah mereka yang memang diperlukan dan harus dibayar dengan gaji yang mencukupi keperluan hidup mereka yang wajar. Dengan demikian, diharapkan birokrasi kita cukup ramping dan gesit dalam melayani kepentingan masyarakat. Semoga.

Djohan Effendi Penulis adalah Ketua Umum Indonesian Conference on Religion and Peace

Re: [apakabar] Presiden Bodoh Re: Proven... (31/8-'03)

Re: Presiden Bodoh Re: Proven managerial skill for the President is Topic List < Prev Topic | Next Topic >
Reply | Forward < Prev Message | Next Message >
Re: [apakabar] Presiden Bodoh Re: Proven managerial skill for the President is a must

Numpang nanggapin sedikit aja.
----- Original Message -----
From: Juswan Setyawan
To: apakabar@yahoogroups.com
Sent: Tuesday, August 26, 2003 1:09 PM
Subject: Re: [apakabar] Presiden Bodoh Re: Proven managerial skill for the President is a must

....................................................... anggota2
Parlemen baru itulah yang akan membentuk Undang-Undang bersama-sama dengan
Pemerintah yang baru hasil Pemilu 2004.
Nah, Kepala Pemerintah atau Presiden nanti akan dipilih langsung
oleh rakyat. Tapi CAPRES-nya dari mana? Ya juga bakal Mang Uyus

Kompas Minggu 31 Agsts hari ini menyajikan hasil polling pendapat atas 31 calon presiden yad. dengan paling topnya Soesilo BY dan kedua S.Hamengkubuwono X. Prabowo itu diatas no 20-an dan Mega diatas no.10-an..
http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0308/31/Fokus/

Saya lebih milih SHX sebagai presiden dan SBY sebagai wakilnya.

GD

Meniadakan pemerasan pengurusan Kir.(2,habis) (30/8-03)

Meniadakan pemerasan pengurusan Kir.(2,habis) Topic List < Prev Topic | Next Topic >
Reply | Forward < Prev Message | Next Message >
Bagaimana pengeterapan analogi 'self assesment' dan 'mekanisme berobat' dalam proses kir untuk kendaraan bermotor itu?

Pada dasarnya setiap pemilik kendaraan sangat menginginkan bahwa kendaraannya dalam kondisi baik dan layak jalan.Maka tentunya sebelum kendaraan itu dibawa untuk di- kir tentu pemiliknya terlebih dahulu melengkapi hal2 yang kurang di kendaraan itu.
Lebih jauh menurut saya, cara berpikir layak jalannya kendaraan itu untuk selama 6 bulan yang hanya didasarkan pada peng-kir-an oleh petugas kir yang hanya dalam waktu kira-kira 2 jam adalah cara berpikir yang keliru, karena kendaraan yang dikir itu terdiri atas sangat banyak komponen yang mudah dapat dibuka/dicopot untuk dipertukarkan ,sedangkan surat kirnya adalah untuk satu satuan utuh unit kendaraannya tanpa memperinci komponen2 kendaraannya untuk masa 6 bulan.
Maka secara ekstrem bila dikehendaki pemiliknya bisa saja mesin yang bagus dari kendaraan yang telah lulus kir itu dicopot dan ditukar dengan mesin yang tidak layak lagi tapi kendaraan itu secara formal tetap telah lulus kir.

Maka prinsip layak dan tidak layak jalan itu jangan lagi ditentukan oleh pemerintah/istansi pelaksana kir itu tetapi diserahkan kepada masing2 pemilik kendaraan itu saja.Sehingga dengan demikian juga hal-2 yang perlu diperiksa oleh petugas kir itu agar dikurangi hingga hanya sebatas hal2 yang sangat vital saja dalam kaitan dengan keselamatan saja.Misalnya apakah kaca yang retak saja merupakan faktor vital membahayakan bagi penumpangnya?Menurut saya hal itu mengada-ada.
Apakah batasan jumlah penumpang/barang yang boleh diangkut sesuai klassifikasi kendaraannya adalah hal yang vital?Ini adalah vital maka perlu diatur.

Pemerintah/instansi dalam proses kir itu hanya sebatas mengadakan pencatatan atas kondisi kendaraan sesuai dengan butir2 yang vital perlu dilihat/diperiksa itu saja.Petugas itu hanya mencatat apa yang dilihatnya,bukan menafsirkan pengaruh dari apa yang dilihatnya.dan hasil pencatatan itu tidak untuk memberikan kesimpulan layak atau tidak layaknya kendaraaan itu digunakan,tetapi hanya merupakan catatan instansi itu mengenai kondisi kendaraan itu. Catatan itu diberikan secara tertulis kepada pemilik kendaraan untuk bahan bagi dia untuk melengkapi kekurangan2 yang ditemukan dalam pencatatan itu dimana catatan itu (sebut saja surat keterangan kir) adalah merupakan kelengkapan dokumen kendaraan yang selalu ada didalam kendaraan itu bersama2 STNK.

Setelah proses itu selesai berjalan maka secara otomatis kendaraan itu berhak diberi penning atau stiker atau diberi tanda kir dan surat keterangan kir yang tentu nya diperoleh setelah pemilik kendaraan membayar retribusi sebesar yang ditentukan peraturan.

Dalam melaksanakan kir ini sebaiknya dilaksanakan prosesnya mulai dari awal pendaftaran, kemudian pencatatan2 hingga yang terahir untuk pembayaran retribusi dan menerima penning/surat keterangan kir dilakukan dengan prinsip antri ban berjalan yang first in frst out (FIFO) secara fisik langsung terhadap kendaraannya.(bukan orang pemilik nya saja).
Sipemilik kendaraan mulai dari awal pendaftaran hingga terahir untuk pembayaran/menerima surat kir dan penning atau stiker atau tanda kir,bila dikehendaki pemiliknya cukup tetap berada dibelakang stir kendaraan yang dibawanya saja, ibarat kendaraan masuk dan keluar ke dan dari lapangan/gedung parkir yang ada gerbang masuk keluarnya apakah yang masih manual atau semi otomatis.
Dengan cara ban berjalan yang FIFO ini juga merupakan salah satu cara untuk meniadakan adanya kesempatan untuk mengadakan trik2 untuk pemerasan dan KKN.

Demikian suatu lontaran gagasan untuk kita diskusikan.


GD

Meniadakan pemerasan pengurusan Kir.(lanjutan 1)(30/8-'03)

Meniadakan pemerasan pengurusan Kir.(lanjutan 1) Topic List < Prev Topic | Next Topic >
Reply | Forward < Prev Message | Next Message >
Pengurusan perizinan atau pengurusan pemenuhan kewajiban WN kepada Negara di negeri tercinta ini masih merupakan lahan empuk bagi penguasa untuk mengadakan pemerasan atau KKN.

Beberapa hari ini harian Kompas berturut turut memberitakan mengenai kontroversi rencana pemerintah hendak mengadakan kir atas kendaraan pribadi baik roda 4 dan roda 2 yang dihubungkan dengan amburadul dan bobroknya pelaksanaan Kir itu di balai kir Pemda DKI Jakarta.
Judul2 berita itu sbb:
- Kir Hanya Upaya Pemerintah Memeras Warganya Sendiri http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0308/22/metro/505378.htm
- Pelaksanaan Kir di DKI Hanya Formalitas http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0308/23/metro/506701.htm
- Kir Itu Cuma "Boong-boongan" Kok... http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0308/25/utama/510001.htm
-Pengemudi Angkutan Umum Akan Dibebani SPAU http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0308/26/utama/511601.htm
-Benahi Dulu Teknis Pelaksanaan Kir http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0308/27/utama/516848.htm
-Laporkan, Petugas Kir yang Mudah Dibayar http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0308/28/metro/518222.htm

Pertanyaan-2 yang perlu dijawab dalam mencoba mencari jalan keluarnya sbb:

I.Pertanyaan pertama.
Kenapa setiap proses perijinan/surat/pemenuhan kewajiban WN kepada Negara (selanjutnya kita sebut saja 'surat') oleh pemerintah cendrung terjadi pemerasan/KKN di negeri ini?
-perijinan misalnya izin usaha.
-surat misalnya surat KIR,KTP,akte lahir,akte nikah.
-pemenuhan kewajiban misalnya pajak,bea/cukai,denda.

1.Jawaban yang paling utama adalah karena menurut ketentuan yang dibuat pemerintah itu maka posisi pemerintah yang memberi 'surat' itu dalam kenyataannya adalah sangat kuat dibandingkan dengan posisi pemohon itu.Posisi pemerintah yang kuat itu ialah pemerintah itu yang menentukan layak tidak layaknya si pemohon memperoleh 'surat' itu (tentu sebenarnya berdasarkan penilaian2 yang obyektif oleh petugas pemeriksa)
Peluang yang terbuka dari posisi ini ialah:
-Terbuka peluang bagi oknum pemerintah/penguasa untuk memanfaatkan posisinya untuk menyelewengkan kekuasaan itu untuk kepentingannya dan ini sesuai dengan aksioma yang sering kita dengar:"Power tends to corrupts"

Kecendrungan terjadinya penyelewengan kekuasaan itu dinegeri ini sangat besar karena berbagai faktor pendorong yang saling menunjang a,l: profesionalisme yang rendah,moral/mental yang rendah,control baik internal maupun fungsional yang lemah,kepentingan pribadi/golongan/klik yang menonjol yang menyuburkan konspirasi dan masih banyak faktor2 lain yang dapat dikemukakan.

2.Si pemohon sadar akan posisinya sehingga akan mengikuti bagaimanapun proses yang dijalankan oleh pemberi 'surat' itu.
Adalah tidak mungkin sipemohon akan tidak memohon 'surat' itu karena baginya 'surat' itu merupakan kewajibannya sebagai WN dan tanpa itu ybs tidak dapat melakukan aktifitasnya dalam kelangsungan hidupnya dengan keluarganya di wilayah dimana dia tinggal.
Sehingga mau atau tidak mau,suka atau tidak suka maka pemohon harus mengikuti kemauan oknum pemerintah/penguasa itu.

II.Pertanyaan Kedua.

Bagaimana caranya untuk meniadakan adanya pemerasan/KKN dalam pengurusan 'surat' itu?

Mengetahui posisi2 yang dimiliki pemerintah/penguasa dan pemohon seperti disebut pada I diatas maka
hal2 yang dapat ditempuh sbb:

1.Meniadakan faktor2 pendorong penyebab terjadinya penyelewengan2 kekuasaan itu yaitu dengan meningkatkan profesionalitas pejabat/petugas,meningkatkan mental/moral pejabat/petugas, meningkatkan control internal maupn fungsional dst sehingga tidak terjadi penyelewengan kekuasaan itu.
Hal hal itu terutama adalah menyangkut peningkatan kwalitas SDM-nya yang keberhasilannya tidak mungkin diperoleh dalam jangka pendek/menengah melainkan dalam jangka panjang .

Tentunya pemerintah tidak dapat menunggu dalam jangka panjang sampai faktor2 pendorong itu berkwalitas tinggi untuk siap pakai dalam pelayanan umum itu.
Peningkatan kwalitas SDM ini perlu dilaksanakan sebagai program jangka panjang tetapi tidak berarti pelayanan umum itu ditunda atau dihentikan dulu.
Harus ada jalan keluar yang harus ditempuh paling tidak untuk sementara sampai SDM itu benar benar berintegritas tinggi.
Maka jalan keluar yang mungkin dapat ditempuh adalah seperti no.2 dibawah ini.

2.Mengurangi bobot kekuasaan yang dipegang oleh pemerintah itu sehingga kecendrungan menyelewengkannya sangat rendah dan membuat posisi pemerintah dan pemohon dalam kenyataannya dalam pengurusan ini dalam keadaan cendrung seimbang.

a.Untuk ini kita dapat mempertimbangkan prinsip cara berpikir kebijaksanaan pemerintah dalam pemungutan pajak PPH yang berpijak pada prinsip 'self assesment' .Dalam prisip ini maka pemerintah adalah dalam posisi lebih menunggu (sedikit passif) dengan hanya memonitor/mengawasi wajib pajak dalam memenuhi kewajibannya kepada negara dan sebaliknya wajib pajak didorong lebih aktif yaitu dengan menilai sendiri besar kewajiban pajak yang harus dibayar kepada negara sesuai dengan pedoman perhitungan,prosedur dan jadwal yang dikeluarkan pemerintah/kantor pajak.(self assesment).
Dalam prinsip 'self assesment' ini maka posisi pemerintah dan wajib pajak dibuat cendrung seimbang.
Sebelum prinsip self assesment ini diterapkan maka si petugas pajak yang lebih aktif mendatangi/ mengejar wajib pajak itu dalam posisi yang dapat menghitam putihkan wajib pajak itu.

b.Kita dapat juga mempertimbangkan sebagaimana yang terjadi dalam prinsip mekanisme berobat ke dokter di RS atau praktek pribadi dokter.
Dalam mekanisme itu maka sang dokter itu dimulai dengan memeriksa kesehatan kita dan kemudian menyatakan apakah kita sehat2 saja atau menderita sesuatu penyakit. Apabila kita mengidap sesuatu penyakit maka dia akan memberikan surat resep obat dan kita membayar dia untuk jasa2nya.
Selanjutnya terserah kepada kita hendak menggunakan surat resep obat itu untuk keperluan kita .apakah kita mau beli obat untuk mengobati penyakit yang kita idap atau tidak menebus resep itu dan mengharapkan penyakit itu hilang dengan sendirinya atau membiarkan penyakit itu merongrong kesehatan kita.

Dengan mempertimbangkan prinsip cara berpikir 'self assesment' dan 'mekanisme berobat' dapat membuat mekanisme proses Kir dari kendaraan angkutan itu agar terhindar dari praktek2 pemerasan atau KKN.

(bersambung)

Meniadakan pemerasan pengurusan Kir. (28/8-'03)

Meniadakan pemerasan pengurusan Kir. Topic List < Prev Topic | Next Topic >
Reply | Forward < Prev Message | Next Message >
Pengurusan perizinan atau pengurusan pemenuhan kewajiban WN kepada Negara di negeri tercinta ini masih merupakan lahan empuk bagi penguasa untuk mengadakan pemerasan atau KKN.

Beberapa hari ini harian Kompas berturut turut memberitakan mengenai kontroversi rencana pemerintah hendak mengadakan kir atas kendaraan pribadi baik roda 4 dan roda 2 yang dihubungkan dengan amburadul dan bobroknya pelaksanaan Kir itu di balai kir Pemda DKI Jakarta.
Judul2 berita itu sbb:
- Kir Hanya Upaya Pemerintah Memeras Warganya Sendiri http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0308/22/metro/505378.htm
- Pelaksanaan Kir di DKI Hanya Formalitas http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0308/23/metro/506701.htm
- Kir Itu Cuma "Boong-boongan" Kok... http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0308/25/utama/510001.htm
-Pengemudi Angkutan Umum Akan Dibebani SPAU http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0308/26/utama/511601.htm
-Benahi Dulu Teknis Pelaksanaan Kir http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0308/27/utama/516848.htm
-Laporkan, Petugas Kir yang Mudah Dibayar http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0308/28/metro/518222.htm

Minta dilaporkan /dibuktikan (27/8-'03)

Minta dilaporkan /dibuktikan Topic List < Prev Topic | Next Topic >
Reply | Forward < Prev Message | Next Message >

Dapat dilihat /dibaca (baca diberita Kompas dibawah) bagaimana pernyataan pejabat itu yang sepertinya tidak pernah/jarang terjadi seperti dikeluhkan itu:'Sebetulnya, kalau memang terjadi atau ditemukan kolusi dan korupsi antara pengemudi dan petugas penguji kendaraan, pihak Dishub selalu terbuka untuk menerima laporan seperti itu.Pengaduan itu hendaknya dikemukakan secara terbuka. "Sebut saja siapa nama petugas yang bisa diajak berkolusi itu? Tetapi, pelapor juga harus berani menyebutkan namanya sendiri supaya petugas yang mudah dibayar itu bisa ditindak tegas," ujar Rustam.'

Seperti pernah saya katakan maka para pejabat itu akan balik meminta bukti adanya korupsi itu dengan melaporkan siapa2 saja yang memeras/KKN itu.Katanya sipelapor akan dilindungi.

Selanjutnya kalau nantinya ada yang melaporkan,maka selanjutnya sipelapor akan dimintakan bukti2 materialnya karena tidak mungkin yang dilaporkan di tindak/diberi sanksi tanpa adanya bukti.

Tanpa adanya bukti atau ketangkap basah maka yang dilaporkan akan sumpah2 tidak pernah berbuat dan menyatakan hal itu adalah fitnah malah sebaliknya mungkin akan balik menuntut kepengadilan pejabat yang menuduh dia karena pencemaran nama baik.

Repot bukan!!?

Jadi pernyataan pejabat itu sebenarnya omong kosong doang. :-(

GD

http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0308/26/utama/511601.htm
Pengemudi Angkutan Umum Akan Dibebani SPAU

Jakarta, Kompas - Belum surut penolakan terhadap rencana pemerintah atas pemberlakuan uji kelaikan jalan atau kir kendaraan bermotor roda empat pribadi dan seluruh kendaraan roda dua yang akan dilaksanakan tahun 2004, pemerintah kembali membuat kejutan.

Kepada Kompas, Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta Rustam Effendy, Senin (25/8), menyatakan, beberapa bulan lagi semua pengemudi angkutan umum yang beroperasi di wilayah DKI Jakarta akan diwajibkan memiliki sertifikat pengemudi angkutan umum (SPAU). Sertifikat yang dikeluarkan Dinas Perhubungan (Dishub) DKI itu sangat berbeda dengan surat izin mengemudi (SIM) yang dikeluarkan kepolisian.

Rencana itu tentunya akan memberatkan para pengemudi angkutan umum. Sebab, untuk mendapatkan SPAU, seorang pengemudi harus terlebih dahulu memiliki SIM B-Umum.

Menurut Rustam, pekan lalu Menteri Perhubungan Agum Gumelar sudah menandatangani surat keputusan menteri yang mengatur soal SPAU. Sertifikat itu, katanya, nantinya akan digunakan sebagai lisensi untuk menyatakan bahwa seorang pengemudi layak mengemudikan angkutan umum, seperti bus, taksi, dan mikrolet.

Selain harus memiliki SIM B-Umum, pengemudi juga diharuskan mengikuti pendidikan dan pelatihan yang diselenggarakan Dishub DKI selama dua minggu.

"Tujuannya, pengemudi diharapkan tidak menjadi pengemudi ugal-ugalan," kata Rustam. Soal biaya memperoleh SPAU, Rustam mengatakan, sampai saat ini hal tersebut belum ditentukan. Yang jelas, biaya itu dijadikan sumber pendapatan asli daerah (PAD).

Rustam bahkan menegaskan, pengemudi yang tidak memiliki Sim B-Umum dan SPAU dapat ditindak tegas oleh kepolisian maupun Dishub, berupa penilangan. Semua itu dilakukan demi penegakan hukum dalam berlalu lintas.

Penyelewengan

Lebih jauh Rustam mengemukakan, sejumlah kalangan masyarakat sudah sering mengecap terjadinya penyelewengan kir di tingkat teknis Dishub DKI. Sebetulnya, kalau memang terjadi atau ditemukan kolusi dan korupsi antara pengemudi dan petugas penguji kendaraan, pihak Dishub selalu terbuka untuk menerima laporan seperti itu.

Pengaduan itu hendaknya dikemukakan secara terbuka. "Sebut saja siapa nama petugas yang bisa diajak berkolusi itu? Tetapi, pelapor juga harus berani menyebutkan namanya sendiri supaya petugas yang mudah dibayar itu bisa ditindak tegas," ujar Rustam.

Ia berjanji, setiap pelapor yang berani menunjukkan pegawai Dishub yang mudah diajak kolusi dalam pengujian kir maupun perolehan SPAU akan dilindungi.

Menyinggung tentang anggota Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ) Dinas Perhubungan DKI yang belakangan ini sering melakukan pemeriksaan terhadap sopir angkutan umum di jalan-jalan di Jakarta, Kepala Subdinas LLAJ Dishub DKI Jakarta Sunugroho mengatakan, hal itu dilakukan untuk memeriksa kelengkapan surat-surat angkutan umum.

"Seperti surat izin usahanya, apakah sudah mati atau belum? Apa kendaraannya sudah dikir atau belum? Bagaimana dengan kelengkapan kendaraan itu sendiri? Kan, mereka itu membawa penumpang," ucapnya.

Sebenarnya, menurut Karmanto (pengemudi taksi yang enggan menyebutkan perusahaannya), kalau kir dilaksanakan sesuai dengan aturan, tidak perlu lagi petugas LLAJ berkeliaran di jalan, seperti polisi.

"Bila petugas LLAJ masih berkeliaran di jalan, itu berarti pelaksanaan kirnya selama ini benar-benar buruk," katanya ketus.

Meragukan

Peneliti Urban and Regional Development Institute (URDI) Desi Rijanti sangat meragukan "kebersihan" pelaksanaan kir itu. "Siapa yang dapat menjamin kalau kir tidak menimbulkan kolusi atau bahkan pemerasan. Saya secara pribadi menolak gagasan (kir untuk mobil pribadi dan semua kendaraan bermotor roda dua) itu," katanya.

Menurut dia, alasan mengurangi pencemaran udara di Jakarta dengan cara melangsungkan uji emisi gas buang hanyalah dicari-cari. "Jika kir diberlakukan, apa iya sih Jakarta bisa bebas dari pencemaran. Kalau memang ada jaminan, silakan saja," ujarnya.

Pesimisme seperti itu juga muncul di kalangan pemilik kendaraan pribadi. Hampir semua pengguna mobil menganggap, kir hanya cara mengeruk uang rakyat. "Wah, duit lagi itu," kata beberapa polisi yang ditemui di Kepolisian Sektor Duren Sawit.

Bahkan, Kompas mendapatkan surat kaleng dari seseorang dengan nada memaki-maki.

Peneliti dari Public Interest Research and Advocacy Center (PIRAC) As'ad Nugroho mengatakan, tanpa ada mekanisme kontrol dan transparansi, kir hanya menambah deretan kolusi pejabat dan pelaksana kir. Namun, dia sendiri sepakat dengan substansi kir itu.

"Secara substansi, tidak ada yang salah dengan kir itu. Kalau tidak dilakukan, kondisi jalan raya akan amburadul, tidak ada jaminan keselamatan," katanya.

Hanya saja, budaya percaloan dan titip surat itu belum bisa dihilangkan di Indonesia sehingga masyarakat pun menjadi pesimistis.

Jika memang akan diberlakukan, harus ada transparansi proses kir, dan ditetapkan biayanya tidak lebih dari Rp 50.000. Juga, waktu kir itu dipercepat karena orang punya kesibukan.

"Sebenarnya, kir itu kan murah saja, hanya Rp 35.000-an. Tapi, praktiknya, ban mobil tidak ada pentilnya saja pemiliknya harus membayar Rp 10.000. Kir akhirnya menelan biaya sampai Rp 200.000, bahkan mungkin lebih. Nah, inilah yang harus dihilangkan," papar As’ad. (OSA/NIC/IVV)

Re: Kreativitas pejabat Indonesia - Soal kir - Johny dll (26/8-'03)

Re: Kreativitas pejabat Indonesia - Soal kir - Johny dll Topic List < Prev Topic | Next Topic >
Reply | Forward < Prev Message | Next Message >
Re: [apakabar] Re: Kreativitas pejabat Indonesia - Soal kir - Johny dll

GD.

Permisi...ikutan ngobrol....

----- Original Message -----
From: ojolalik
To: apakabar@yahoogroups.com
Sent: Sunday, August 24, 2003 7:08 AM
Subject: [apakabar] Re: Kreativitas pejabat Indonesia - Soal kir - Johny dll


> Kita tahu maksud peraturan itu tentu bagus: mencegah polusi dan
> keamanan berlalu lintas. Namun nanti pada prakteknya, berani
taruhan,
> semua pemilik kendaraan keluaran 1997 kebawah pasti akan menjadi
> korban utama.
Karena tidak lulus uji, maka para pemilik itu lebih suka
> ambil jalan pintas dengan menyuap polisi atau departemen yang
> mengurusi uji kendaraan itu. Karena kalau tidak menyuap, beayanya
akan
> jauh lebih besar utk mereparasi daripada beaya suap.

GD.

Maaf teewoel ,tulisan anda saya komentari disini.

Pemohon adalah pihak dengan posisi lemah dibandingkan dengan pihak Balai Kir dalam proses ini
Kenapa..?
Jawabannya:.

1.Kalau si pemohon tidak datang memohon untuk di Kir maka dijalanan dia akan dicegat dan ditilang karena belum Kir atau dia akan kesulitan untuk perpanjang STNK bila Kir itu dikaitkan dengan perpanjangan STNK
Jadi adalah keharusan dia harus datang ke Balai Kir,bukan petugas Kir yang datang kerumahnya..
Kalau dia tidak turun kejalanan maka apa gunanya dia beli kendaraan itu?!:-(

2.Standard kelayakan hasil pengujian tidak diukur/dinilai secara kwantitatif tapi adalah kwalitatif yang dalam pelaksanaannya mengikuti ucapan/tulisan/nilai petugas Kir itu .Bukan hasil diskusi antara pemohon dan petugas dan tidak mungkin atas dasar nilai pemohon.Ucapan/tulisan/nilai petugas Kir adalah yang menentukan dan tidak terbantah atau istilah kerennya disebut adalah final.Jadi jangan main2 dengan petugas Kir,merah -itamnya dia yang menentukan.

Naah,posisi ini diketahui oleh kedua belah pihak.
Pemohon datang dengan berserah diri kepada petugas sebaliknya petugas,sadar dengan kekuasaanya.
Apakah pemohon bisa protes? bila dia menganggap tidak obyektif pengujiannya?.
Silahkan protes ........., maka pasti akan terjadi espirit de-corps (nulisnya benar-nggak?)petugas balai, sipemohon akan terlantar permohonannya.
Silahkan ngadu ke polisi,silahkan ngadu ke kejaksaan,silahkan ngadu ke pengadilan TUN maka urusan akan berkepanjangan dan memakan biaya yang tidak kecil karena tanpa biaya urusan itu tidak akan berjalan prosesnya ,belum bicara biaya untuk dimenangkan perkaranya. :' (

Semulus apapun kendaraan yang dibawa untuk dikir itu maka sipetugas itu pasti akan mencari2 kelemahan kendaraan itu bila tidak ada tanda2 "pengertian" dari pemohon,karena nilai kelayakan itu kwalitatif yang dapat dikencang kendurkan seperti karet semaunya petugas itu.
baca: http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0308/25/utama/510001.htm
dengan judul 'Kir Itu Cuma "Boong-boongan" Kok...'

Nah,jadi bukan sipemohon yang karena ingin murah lalu menyuap petugas tapi karena sipemohon tau posisinya yang lemah dan sipetugas tau posisinya kuat sehingga dimanfaatkan untuk hal2 yang negatif karena sudah bukan rahasia lagi bahwa para petugas2 itu tidak profesional,korup,bermoral/mental rendah (hampir semuanya)
Sebenarnya kekuasaan (pemerintahan) itu seharusnya digunakan adalah untuk pelayanan kepentingan umum ,tapi di negeri ini kekuasaan itu masih kebanyakan digunakan/diselewengkan bukan untuk kepentingan umum itu.

Seandainyalah memang petugas itu professional,integritas tinggi,bermoral/mental tinggi,tidak korup maka tentu dia akan menolak adanya suapan2 sehingga meng'apkir' kendaraan yang tidak layak.

Maka masalah2 kemungkinan kecelakaan akibat ketidak layakan kendaraan akan rendah dan masalah polusi udara akibat gas buangan kendaraan akan tidak ada
.
Kalau keadaannya memang demikian saya yakin sipemohon akan berpikir dua kali akan mengandalkan suap itu dan mengusahakan kendaraannya sebaik dan selengkap mungkin sesuai ketentuan yang ada.

Jadi jangan dibalik karena adanya suapan lalu sipetugas karena kasian terpaksa menerimanya ,jadi dua2nya yang salah...saya kira cara berpikir keliru.
Kekuasaan ada pada sipetugas,hitam-merahnya kemana proses akan berjalan hanya dia yang menentukan .

Oleh karena itu
> kalau tujuannya mencegah polusi dan keamanan, tujuan itu tidak
pernah
> akan tercapai. Udara jakarta pasti tetap dianggap yang cukup
> mengkhawatirkan. Sama saja dibanding dgn ketika dulu tidak ada kir.
>
> Kalau sudah begini, para pemilik kendaraan yang kismin-kismin atau
> kelas menengah kebawah, yang paling susah. Jadi korban lagi.

Buat sekedar direnungkan.

Dari skenario di atas, saya todak melihat bahwa para pemilik kendaraan
yang miskin dan kelas menengah ke bawah akan menjadi KORBAN korupsi.
Jangan salah KORBAN peraturan, YA.
Sebaliknya, karena pilihan sadarnya lebih baik menyuap daripada
reparasi, justru para pemilik kendaraan adalah PELAKU utama korupsi
itu sendiri.
GD.

Karena komentar anda didasarkan pada skenario yang dilontarkan oleh teewoel diatas ,maka lebih dahulu saya tanggapi skenario teewoel seperti diatas.

Dari tanggapan saya diatas saya simpulkan bahwa pekerjaan suap oleh pemohon bukan karena pemohon ingin yang lebih murah daripada reparasi tapi karena tidak ada pilihan lain selain memberikan suap itu . Karena walaupun dia reparasi kendaraannya sebaik mungkin tetap saja diperlukan suap karena umumnya pada masa sekarang ini yang terjadi adalah sipetugas cendrung menggunakan kekuasaannya untuk pemerasan dan untuk itu tidak sulit bagi sipetugas untuk mengeluarkan ucapan/ btulisan/ nilai tidak layak bagi kendaraan si pemohon.(sangat gampang cari2 kesalahan itu)

Dugaan saya.
1. Pemerintah dan aparatnya, termasuk polisi Indonesia itu KORUP
dan mudah DISUAP.
2. Rakyat Indonesia juga, kaya miskin pada baen, KORUP dan mudah
MENYUAP.

> Rasanya pemerasan, korupsi akan semakin merajalela di tahun-tahun
> mendatang, alasannya:
> * pemilu sudah dekat, para pejabat butuh dana suap utk menjabat
lagi,
> dana kampanye partai dsb.
> * pemilu sudah dekat, mau merampok duit rakyat sebelum dilengserkan

Dalam skenario di atas, tidak nampak ada pemerasan, malah sebaliknya
pemilik kendaraan memilih sendiri secara aktif untuk MENYUAP yang
jatuhnya bisa lebih murah, dari pada mereparasi yang ongkosnya bisa
lebih mahal.

GD.

Lihat komentar saya diatas.


> Bagaimana anda memecahkan dilemma pemerasan ini?
> * Satu jawaban dari mang Uyus : demo ramai-ramai dgn bersepeda motor
> dan bermobil memprotes keputusan kir 2004 itu.

Nope.
Pemecahannya:
1. Jangan memaksakan diri membeli kendaraan bermotor jika memang
tidak punya cukup uang baik buat beli maupun ongkos pemeliharaan
nya. --> mengurangi jumlah kendaraan pribadi.
2. Sebaliknya galakkan bepergian jarak dekat dengan berjalan kaki
dan atau naik sepeda. Atau bahkan kurangi jumlah kendaraan pribadi,
imbangi dengan hidupkan kembali becak untuk jarak dekat.
3. Jangan lupa perbaiki angkutan umum massal.

GD.

sependapat.


> * Mungkin ada jalan keluar lain?

Alternatif,
Demo ramai-ramai dengan berjalan kaki atau naik sepeda atau becak.
Bukan keputusan atau peraturannya yang diprotes, tetapi setiap
penyelewengan atau penelikungan pelaksanaannya baik oleh polisi atau
aparat terkait yang mau DISUAP, maupun oleh rakyat/pemilik kendaraan
yang hendak MENYUAP.

So marilah kita jadi rakyat atau warga negara yang tidak suka atau
mudah MENYUAP.

GD.

Lihat komentar saya diatas,rakyat itu tidak ingin jadi penyuap tapi karena tidak ada pilihan lain selain memberikan suap itu,karena kekuasaan itu menginginkannya.Makanya si Gandul ngatakan:"Power tends to corrupt"

Salam juga'

GD

Salam,
Ojolalik

Re: omong kosong lagi. (25/8-'03)

Re: omong kosong lagi. Topic List < Prev Topic | Next Topic >
Reply | Forward < Prev Message | Next Message >

----- Original Message -----
From: usman_maine
To: apakabar@yahoogroups.com
Sent: Sunday, August 24, 2003 11:45 AM
Subject: [apakabar] Re: omong kosong lagi.


kalau yang polusi, saya tidak tahu, tapi kalau inspeksi tentang
kesehatan mobil, memang jadi kewajiban di Maine [saya kira juga di
state lain]. Caranya mudah, kita bawa itu mobil ke bengkel yang
ditunjuk, kalau pihak bengkel yang memeriksa puas, kita dapat stiker,
bayar $15, selesai.
Bukti inspeksi ini di bawa ke City Hall untuk ngurus 'registration'
mungkin semacam STNK di tempat kita [selain inspection, kita juga
perlu bawa bukti insurance].

Kalau saya setuju saja di INA mobil-mobil harus diuji [kir]. Mobil
yang tak layak jalan memang seharusnya tak diberi lolos uji.

GD :

Prinsip kesehatan dan batas ambang gas buang kendaraan bermotor saya sependapat dengan bung Usman ,itu perlu.
Tapi apabila harus ada sertifikatnya maka yang masalah adalah dalam rangka memperoleh sertifikat lulus testnya itu.
I.
Kalau di negeri Maine dan juga distate2 lain di negara dimana anda tinggal sekarang saya percaya bahwa para lembaga dan perusahaan yang ditunjuk mengurusi itu adalah lembaga yang diurusi oleh manusia2 profesional,berintegritas tinggi serta yang bermoral/mental baik.
Di negeri Indo tercinta ini masih jauh dari seperti itu apakah itu instansi pemerintahnya atau perusahaan yang akan ditunjuk sama saja,setali tiga wang sama2 rawan KKN.Perusahaan asing saja yang beroperasi di negeri kita ini banyak yang terbawa bawa mengikuti budaya KKN ,karena kalau nggak maka dia akan ambruk atau tidak laku beroperasi.

II.
Menurut berita2 yang saya dapat terutama dari koran2 dan tv selama ini , ternyata bahwa tingkat kecelakaan kendaraan bermotor dijjalanan tidaklah menonjol yang berarti dapat disimpulkan bahwa tingkat kesehatan kendaraan bermotor yang berjalan di jalanan di negeri ini masih baik baik saja apakah itu kendaraan2 pribadi atau niaga.Kecelakaan2 yang terjadi kebanyakan karena ulah para sopir yang ugal2an,atau ngantuk dsb.
(Saya coba cari statistik kecelakaan lalu lintas di Jakarta tapi nggak ketemu;barangkali ada yang bisa membantu ;sukur2 ada perbandingan dengan negara2 seranking lah kesejahteraan penduduknya).
Jadi walaupun menurut berita Kompas hari ini (baca di: http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0308/25/utama/510001.htm ) dengan judul:'Kir Itu Cuma "Boong-boongan" Kok..' ternyata kendaraan-2 niaga yang di Kir itu sehat2 juga adanya,bukan karena di Kir itu tapi karena dirawat oleh yang punya.
Lebih2 kendaraan2 pribadi yang di negeri kita ini lebih cendrung kepada perlambang status pemiliknya daripada sekedar alat angkutan maka ybs akan habis2 an bagaimana merawat kendaraannya itu,bila perlu ngirit wang belanja rumah tangga asalkan kendaraannya tampil keren meyakinkan.

III Jadi belum saatnya lah kendaraan pribadi itu untuk ikut di kir-kan pada situasi penyelenggaraan pemerintahan ini masih penuh dengan budaya korup itu,karena sebenarnya pelaksanaan kir itu tidak jalan tapi hanya penuh dengan formalitas belaka. Demikian halnya kir kendaraan niaga itu saya mengusulkan untuk sementara tidak perlu diadakan kir dululah sampai dapatnya dijamin bahwa pemerasan dan formalitas(boong boongan) disana tidak akan terjadi lagi.

Kalau ada kekawaritan uji itu bakal jadi ladang korupsi baru, teman-2 bisa
usulkan resep bagaimana mencegah korupsi itu. Karena mengeluh tak
akan selesaikan masalah. Alangkah baiknya kalau ada yang punya konsep
jitu buat nyegah terjadi korupsi pada uji kendaraan, lalu sodorkan
konsep itu ke pemerintah lewat tulisan di media. Mari belajar jadi
bagian dari penyelesaian masalah.
GD:
Mudah2 an ada yang mengajukan konsep jitu seperti dimaksud Usman itu sehingga tujuan mulia pengadaan Kir untuk kesejahteraan umum itu benar2 terselenggara (tidak boong-boong-an).
Satu hal yang perlu diingat para penggagas konsep adalah selama simpul2 network proses pelaksanaan kir/izin (yang sangat dibutuhkan pemohon) itu masih dominan ditangani oleh manusia maka dinegeri kita ini proses itu pasti menjadi lahan pemerasan dan jual beli surat2 aspal atau surat jadi2an atau surat boong boongan.itu.

GD


=usman maine=

>"gdbct" wrote:
> Omongan si Iskandar ini benar2 omong kosong,dan umumnya orang2
birokrat itu sok idialist tapi keblinger.
> Disatu sisi reaksi masyarakat itu sangat benar yaitu hanya upaya
cari duit gampang dengan pajak/retribusi berkedok peraturan.
> Disisi lain pelaksanaan kir kedaraan Niaga saja selama ini tidak
beres penuh dengan pemerasan /manipulasi/ sogok/ pelicin/tembak yang
mengakibatkan a.l polusi udara yang tetap saja tinggi,karena sangat
banyak kirnya kir jadi jadian.
> Para birokrat2 dilevel atas itu sangat tidak tahu apa yang terjadi
dalam prakteknya,dia tidak tau bahwa disamping pungutan resmi dengan
pajak/retribusi kir itu maka akan bertambah lagi lahan untuk
terjadinya pemerasan/ manipulasi/ sogok/ pelicin yang akan lebih
mencekik lagi masyarakat itu.
> GD
> http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0308/22/metro/505378.htm
> Kir Hanya Upaya Pemerintah Memeras Warganya Sendiri

Kir Itu Cuma "Boong-boongan" Kok...(25/8-'03)

Kir Itu Cuma "Boong-boongan" Kok... Topic List < Prev Topic | Next Topic >
Reply | Forward < Prev Message | Next Message >


Informasi dibawah ini adalah kejadian rutin yang terjadi di Balai KIR pemda DKI Jkt/Dinas Perhubungan DKI kt.

Bukan berarti kejadian seperti ini hanya di Jakarta saja,tapi kerjadi menyeluruh di Balai2 KIR di daerah2 lain diseluruh Indonesia .

Tetapi bila misalnya Polisi mengusut atau kejaksaan menyelidiki,atau wartawan menelusuri atau BPK/BPKP/Irjen/Pengawas Daerah mengadakan pemeriksaan maka tidak akan pernah ditemukan tindakan2 kriminal ini,karena mereka2 ini akan mencari bukti2 formal atau bukti ketangkap basah.

Gubernur/Pejabat Pemda/Kepala Dinas Perhubungan/Kepala Balai KIR atau para petugas lapangan akan dengan lantang ber-teriak -2:'Mana Buktinya........mana buktinya?',sambil matanya dipelototin ke yang bertanya.:' (

GD

http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0308/25/utama/510001.htm

Senin, 25 Agustus 2003

Kir Itu Cuma "Boong-boongan" Kok...

SUPARDI, pengemudi angkutan umum yang tidak bisa disebutkan rutenya demi kelangsungan pekerjaannya, tampak berdiri menunggu kendaraannya yang tengah diperiksa seorang petugas kir Dinas Perhubungan DKI Jakarta di Ujung Menteng, Cakung, Jakarta Timur. Pemeriksaan dilakukan di depan pintu gedung kir yang panjangnya sekitar 60 meter. Petugas kir tak berseragam Dinas Perhubungan itu tampak memegang kertas.

Sesaat, petugas itu berdiri di depan kendaraan Supardi. Ia kemudian memerintahkan Supardi membuka tutup mesin mobilnya. Setelah itu, sang petugas memberi aba-aba agar Supardi jalan ke dalam gedung kir yang biasa disebut "jalur".

"Tadi hanya diperiksa nomor chasis-nya saja, sedangkan pengujian rem, lampu, pembersih kaca, klakson enggak ada. Begitu juga pemeriksaan soal asap kendaraan, enggak ada sama sekali," tuturnya.

"Proses kir" serupa terjadi pada kendaraan- kendaraan umum lainnya, baik truk boks maupun truk bak terbuka. "Di sini banyak calonya, kok, Mas. Jadi kalau ingin nge-kir, kasih mereka saja. Paling dua jam sudah selesai," ungkap Utoyo, pengemudi truk boks.

"Kalau saya, karena dari perusahaan, jadi sudah langsung diurus sama orang yang ditunjuk perusahaan. Jadi, saya enggak tahu berapa besar biayanya. Cuma memang kita disuruh datang bawa mobilnya, tetapi enggak perlu diperiksa lagi. Ya, mungkin formalitas saja. Kami sih bilangnya kir boong-boongan," kata Sinaga, seorang sopir, sambil tertawa.

Kebiasaan seperti itu, tambah Tejo, pengemudi angkutan umum lainnya, biasa terjadi pada hari Jumat dan Sabtu. "Mungkin mereka pada mau week end, jadi semua yang kir tinggal lewat saja. Yang penting sudah bayar ke calonya," tutur Pardede, sopir lainnya.

Di kalangan para sopir, ngekir bohong-bohongan seperti itu sudah biasa meskipun sebenarnya juga bisa dilakukan secara resmi dan lewat prosedur yang benar. "Asal benar- benar penampilan kendaraannya meyakinkan," kata seorang sopir.

Kalau tidak, petugas kir bisa saja mencari-cari. Entah bodi yang keropos, cat bumper yang berbeda dengan cat bodi, pembersih kaca hanya satu, atau karetnya sudah haus. "Bahkan, tutup bensin yang tidak asli pun kadang dipersoalkan," kata Pardede menambahkan.

Semua itu dilakukan petugas hanya agar pengemudi atau pemilik kendaraan mau memberi uang pelicin. Mereka sudah sangat mafhum berapa harus membayar untuk setiap "kesalahan" yang ditemukan petugas. "Setiap bagian dari kendaraan mempunyai tarif sendiri," katanya.

Ban yang gundul dikenai "tarif damai" Rp 5.000 untuk satu ban. Rem tidak pakem Rp 20.000, dan seterusnya.

"Kalau bodi kendaraan Rp 30.000, sedangkan lampu Rp 20.000. Begitu juga kalau kaca kendaraan retak, lebih baik cepat kasih Rp 5.000 supaya bisa lolos kir. Pokoknya, semua di sini bisa diaturlah... sepanjang kita masih mau mengeluarkan uang menyawer petugas," kata Paryono menimpali.

Bila ingin lebih mudah, tambah Supoyo, juga pengemudi angkutan umum, siapkan saja uang Rp 30.000. "Kemudian berikan Rp 10.000 kepada petugas di tempat pendaftaran di loket dan yang Rp 20.000 untuk petugas jalur. Semua urusan bakal selesai sekalipun kondisi kendaraan asal jalan," katanya.

"Sesudah itu siapkan lagi Rp 8.000: Rp 3.000 untuk yang memasang tanda kir dan Rp 5.000 untuk pengecatan tanda kir," kata Supardi, yang juga sedang berurusan di tempat itu menjelaskan.

Sementara itu, di sejumlah di areal tempat kir terpampang dengan jelas pengumuman yang menegaskan agar para pemilik kendaraan maupun pengemudi tidak membayar pengecatan tanda kir.

"Di plangnya memang seperti itu. Saya sendiri pernah menolak membayar ketika orang yang mengecat itu meminta uang. Saya bilang bahwa itu merupakan peraturan yang ditegaskan sendiri oleh Dinas Perhubungan. Tetapi, tetap saja mereka meminta dan mengancam tidak mau mengecat," ucap Sinaga mengeluh.

Alasan yang dikemukakan para tukang cat itu, tambah Sinaga, karena pekerjaan pengecatan tersebut telah ditenderkan Dinas Perhubungan. "Jadi, mereka mengaku sudah mengeluarkan uang untuk tender serta membeli cat dan berbagai peralatan," katanya.

SEBENARNYA biaya resmi kir khusus untuk angkutan umum sekelas angkutan kota milik Koperasi Wahana Kalpika hanya Rp 67.000. Akan tetapi, banyaknya saweran yang harus dikeluarkan membuat para pemilik kendaraan harus membayar sampai Rp 100.000.

Kedengarannya, Rp 30.000 itu kecil. "Tetapi, kami yang mencari rezeki di jalan sangat keberatan," kata Supardi lagi. Sebab, penghasilan bersih sehari-hari para sopir, setelah dipotong biaya bensin dan setoran, hanya Rp 30.000.

"Itu juga kalau lagi rame. Kalau sepi, paling hanya Rp 20.000 saja," katanya.

Bahkan, sekarang, timpal Sinaga, penghasilan pengemudi terus merosot. "Habis jumlah angkutan umum maupun kendaraan lainnya tidak dibatasi. Akibatnya, selain kami harus saling berebut penumpang, jalan pun semakin padat dan macet," katanya.

Permainan seperti itu pula yang mungkin terjadi pada pelaksanaan kir untuk bus kota yang dipusatkan di daerah Pulo Gadung, Jakarta Timur.

"Kalau tidak, mana mungkin banyak bus kota yang asapnya saja sudah menjadi penghalang penglihatan pengemudi kendaraan lain di belakangnya. Nyatanya, kan, bus dengan kondisi seperti itu tetap saja masih bisa beroperasi," ucap Suparmo, warga Jakarta Utara.

DENGAN pelaksanaan kir yang terkesan sekadar formalitas seperti itu, tidak mengherankan kalau kendaraan umum yang beroperasi di jalanan Ibu Kota juga amburadul. Asap tebal knalpot bus kota dan truk mengepul-ngepul, bodi kendaraan hancur- hancuran. Pokoknya, tak laik jalanlah.

Tidak heran kalau para pemilik kendaraan pribadi-mobil atau sepeda motor-menanggapi sinis keinginan Departemen Perhubungan untuk melakukan uji kir bagi mobil pribadi dan semua sepeda motor.

Menurut mereka, Departemen Perhubungan sebaiknya membenahi dulu aparat dan pelaksanaan uji kir sampai menghasilkan kendaraan-kendaraan umum yang betul-betul laik jalan. Jika itu sudah dicapai, barulah kendaraan pribadi diurusi.

Kalau itu tidak dilakukan, maka kebijakan kir itu tentu akan dicemooh dan yang muncul adalah syak wasangka, sekadar mencar-cari cara mengeruk duit rakyat. "Pemerasan oleh negara," begitulah lebih kurang pendapat mereka yang menentang kir mobil dan motor pribadi. (Nic)

Re: omong kosong lagi. (23/8-'03)

Re: omong kosong lagi. Topic List < Prev Topic | Next Topic >
Reply | Forward < Prev Message | Next Message >
Re: [apakabar] omong kosong lagi.

Saya kira ide bagus mengajak produsen sebagai sponsor,mudah2an mereka mau.
Lebih jauh saya kira kita tantangin para LSM2 (a.l ICW,TI,MMK dll) yang sering banyak ngomong omong kosong,untuk berbuat konkrit dengan turun langsung berdiri paling depan menentang rencana itu dengan mengikutsrtakan sebanyak banyaknya para pengendara motor/pemilik mobil pribadi/niaga itu.

GD

----- Original Message -----
From: Juswan Setyawan
To: apakabar@yahoogroups.com
Sent: Saturday, August 23, 2003 9:30 AM
Subject: Re: [apakabar] omong kosong lagi.

Apakah ada suatu mekanisme untuk mengerahkan sebanyak-banyaknya pengendara
sepeda motor untuk demo untuk menggagalkan rencana gila duit ini? Kalau
perlu disponsori oleh semua produsen sepeda motor. Mari kita rencanakan demo
semacam ini mulai dari sekarang. Sepeda motor harus dikir.... benar-benar
sudah gila para pejabat kita ini! Benar-benar gila duit...!

Mang Uyus

Bobroknya negeriku (23/8-'03)

Bobroknya negeriku Topic List < Prev Topic | Next Topic >
Reply | Forward < Prev Message | Next Message >
Pemerasan/pungli/sogok itu tidak dilakukan sembunyi2 lagi,sudah layaknya jual beli saja.
Hasil pemerasan/pungli/sogok itu tidak hanya untuk petugas yang bekerja dibalai KIR (Ujung Menteng) itu saja,tapi secara berjenjang akan di-upeti-kan sampai ke Kepala Kantornya dan ahirnya sebagian dengan digabung dengan upeti2 dari unit2 pelayanan dilingkungannya yang lain (a.l terminal2) akan diupetikan ke Gubernurnya.Tentunya penyampaian itu tidak menyebut hasil pemerasan dan tidak menyebut sumbernya, hanya disampaikan begitu saja,dan ceritanya Gubernurnya menerimanya secara acuh tak acuh karena upeti itu wajib hukumnya.Upeti2 ini mulai dari paling rendah (juru kir) hingga ke Kepala Kantornya dan terus ke Gubernurnya adalah suatu upaya dalam rangka masing2 ybs tidak terpental dari kedudukan/ jabatannya. Persislah seperti sistim upeti pada jaman penjajahan Belanda dulu.Kalau dulu sistim upeti ini resmi direstui Penjajah maka sekarang ini dilakukan petugas bawahan tidak resmi dengan atasan pura2 tidak tahu.
Kejadian2 ini tdaklah sulit menemukannya dilapangan se hari2,karena kelihatannya adalah receh2an saja;tapi bila dijumlah bisa jutaan tiap hari,puluhan s/d ratusan juta tiap bulan dan milyaran tiap tahun.
Kita mengetahui dampak dari perbuatan itu disamping kerugian masyarakat diperas juga dampak2 lingkungan a.l polusi ,kecelakaan dll.
Pertanyaan klasik akan mereka lontarkan:"Mana buktinya?"
Sekali lagi saya tantangin para LSM yang kebanyakan banyak ngomong omong kosong ,banyak publikasi diri untuk popularitas murahan untuk berhenti ngomong omong kosong dan turun membantu masyarakat dalam mentaati peraturan2 yang dibuat pemerintah/ penguasa itu terhindar dari pemerasan2 sistimatis.
Kalau para LSM ini tidak juga berkarya nyata dalam membantu masyarakat memberantas pemerasan2 ini maka nanti dapat disimpulkan bahwa ngomong omong kosongnya yang sering kedengaran di media massa,seminar dlsb adalah dalam rangka popularitas diri sambil menunggu kesempatan masuk kelingkaran kekuasaan dimana pun, agar dapat ikut menjarah negeri ini dan ikut kebagian hasil pemerasan .

GD

http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0308/23/metro/506701.htm

Pelaksanaan Kir di DKI Hanya Formalitas

Jakarta, Kompas - Masuk akal jika rencana pemerintah melaksanakan uji kelaikan jalan atau kir bagi kendaraan roda empat milik pribadi serta semua kendaraan roda dua mulai tahun 2004 dikhawatirkan mengundang kolusi. Sebab, kir yang dilakukan Dinas Perhubungan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta di Ujung Menteng, Jakarta Timur, menurut sebagian besar pengemudi, semuanya "bisa diatur".

Menurut Suparman, seorang pengemudi angkutan umum yang enggan disebut trayek kendaraannya, tes emisi buangan, rem, lampu, serta kondisi bodi kendaraan hanya sekadar untuk memenuhi persyaratan kir enam bulan sekali. "Lolos tidaknya kir, itu bisa diatur," katanya, Jumat (22/8).

Jaim, pengemudi lain, menyatakan hal yang sama. "Kalau bodi kendaraan rusak, biasanya memang kita disuruh pulang. Tapi, kalau kita punya uang, sodorkan saja, Rp 30.000 gitu, paling petugasnya langsung berlagak tidak melihat," katanya.

Padahal, untuk hal sepele seperti tidak ada karet lis pintu atau kaca, kendaraan sudah dinyatakan tidak laik. "Kasih saja Rp 10.000 atau Rp 20.000, pasti selesai," kata Jaim.

Pengujian rem ternyata juga bisa ditawar dengan uang. "Memang ada pengukur elektronik. Tetapi, kalau kurang-kurang sedikit, itu bisa diatur. Biasanya disawer Rp 20.000 juga sudah selesai. Begitu juga dengan lampu, kalau mati-nyala atau nyalanya kecil, tarifnya juga Rp 20.000," timpal Ujang.

Jika mau lebih gampang, kata Cak Pong, pengemudi truk, calo dapat disewa. "Semua pemeriksaan hanya formalitas, paling dua jam sudah selesai," kata Cak Pong yang berasal dari Surabaya.

Seorang calo mengatakan, "Kalau mau mengekir truk, bawa saja fotokopi STNK, paling dua jam saja sudah selesai. Biayanya cuma Rp 200.000 kok."

Kolusi saat kir itu dibenarkan peneliti Program Transportasi Yayasan Pelangi, Andi Rahma. "Jika peraturannya tidak diubah, kir akan terus menjadi lahan yang sangat ’basah’," katanya.

Sepakat

Rahma sendiri sebenarnya sepakat jika kir juga diberlakukan kepada mobil pribadi dan sepeda motor. Apalagi, pencemaran karena emisi gas buang dari kendaraan yang tidak laik demikian tinggi. Saat ini, kir dilakukan oleh pemilik kendaraan secara sukarela, namun di waktu mendatang harus ada aturannya.

Menurut Kepala Bidang Pengendalian Pencemaran Lingkungan BPLHD DKI Jakarta Yunani Kartawiria, Rancangan Peraturan Daerah tentang Udara, yang saat ini telah selesai dibahas bersama masyarakat dan LSM, juga mengatur uji emisi gas buang. Nantinya, kendaraan akan diuji emisi setiap kali perpanjangan STNK. "Uji emisi itu satu bagian dari kir yang dilakukan Dinas Perhubungan DKI," katanya.

Rahma mengatakan, angkutan umum memang banyak yang melanggar ketentuan emisi, namun itu terjadi juga pada kendaraan pribadi.

"Saat ini saja, di Jakarta ada empat juta kendaraan bermotor. Bandingkan dengan angkutan umum yang hanya 5.000 saja, sementara mobil pribadi terus bertambah. Bayangkan jika satu mobil mengeluarkan emisi hidrokarbon satu gram per kilometer. Udara Jakarta akan makin tercemar," katanya.

Desi Rijanti, peneliti Urban and Regional Development Institute, menambahkan, kir bagi kendaraan pribadi harus dibarengi dengan pengawasan ketat. "Harus dibuktikan, apakah kir tidak menimbulkan suap-menyuap," ujarnya. (IVV/NIC)

omong kosong lagi. (22/8-'03)

omong kosong lagi. Topic List < Prev Topic | Next Topic >
Reply | Forward < Prev Message | Next Message >
Omongan si Iskandar ini benar2 omong kosong,dan umumnya orang2 birokrat itu sok idialist tapi keblinger.
Disatu sisi reaksi masyarakat itu sangat benar yaitu hanya upaya cari duit gampang dengan pajak/retribusi berkedok peraturan.
Disisi lain pelaksanaan kir kedaraan Niaga saja selama ini tidak beres penuh dengan pemerasan /manipulasi/ sogok/ pelicin/tembak yang mengakibatkan a.l polusi udara yang tetap saja tinggi,karena sangat banyak kirnya kir jadi jadian.
Para birokrat2 dilevel atas itu sangat tidak tahu apa yang terjadi dalam prakteknya,dia tidak tau bahwa disamping pungutan resmi dengan pajak/retribusi kir itu maka akan bertambah lagi lahan untuk terjadinya pemerasan/ manipulasi/ sogok/ pelicin yang akan lebih mencekik lagi masyarakat itu.

GD

http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0308/22/metro/505378.htm

Kir Hanya Upaya Pemerintah Memeras Warganya Sendiri

Jakarta, Kompas - Rencana pelaksanaan uji kelaikan jalan atau kir yang akan diterapkan pemerintah mulai awal tahun 2004, khusus untuk kendaraan roda empat milik perorangan dan semua kendaraan bermotor roda dua, mendapat tantangan keras masyarakat. Warga menilai, pelaksanaan uji kelayakan jalan bagi kendaraan roda empat milik perorangan serta seluruh kendaraan bermotor roda dua itu hanya merupakan salah satu usaha pemerintah memeras warganya sendiri.

Demikian perbincangan Kompas dengan sejumlah warga di Jakarta, Kamis (21/8).

Dadang Sumantri, warga Jakarta Selatan, yang diminta tanggapannya atas rencana pemerintah itu langsung menyampaikan ketidaksetujuannya.

"Upaya pemerintah melakukan uji kelaikan jalan atau kir bagi kendaraan roda empat milik pribadi maupun semua kendaraan bermotor roda dua itu makin memperlihatkan bahwa pemerintah itu tahunya hanya memeras warganya sendiri," tegas Dadang yang mengaku bekerja di daerah Senayan.

Sebab, ucap Dadang penuh curiga, melaksanakan kir itu tidak lain hanya salah satu cara pemerintah mengambil uang warganya sendiri. "Kalau memang pemerintah mau mengurus dan mengatur negara ini, urus dululah badan-badan jalan serta trotoar yang sudah berubah fungsi yang banyak kita dapati setiap hari," katanya kesal.

Ia menyebut ruas Jalan Pasar Ciputat di mana pedagangnya sudah memakan lebih dari satu ruas jalan. "Kalau ngurus soal emisi buangan, rem, dan lampu, tidak perlu dikir pun pemiliknya pasti sadar. Mana ada pemilik mobil atau motor yang mau mati konyol. Bohong kalau pelaksanaan kir itu hanya dikaitkan dengan keselamatan pemiliknya," timpal Indra, warga Jakarta Timur.

"Makanya, pemerintah tidak perlu mencari-cari alasan lagi," timpal Heru Syamsuddin, warga Jakarta Pusat. "Kalau mau melakukan uji emisi, itu bus- bus yang asap knalpotnya sampai menghalangi pandangan pengemudi di belakangnya. Itu dululah yang dikerjain."

"Yang itu saja belum tuntas, sudah mau menambah pekerjaan baru dengan menyuruh kendaraan pribadi dan semua kendaraan bermotor roda dua untuk dikir. Itu sih kelihatan jelas bahwa pemerintah hanya mau mencari uang dengan cara paling gampang, yaitu memeras warganya sendiri," kata Deddy, warga Jakarta Utara.

Demi keselamatan

Wakil Kepala Dinas Perhubungan DKI Nurachman menyatakan, sebaiknya warga Jakarta, khususnya para pemilik kendaraan roda empat dan kendaraan bermotor roda dua, tidak langsung menolak gagasan pengujian kelaikan kendaraan pribadinya. Sebab, konsep pengujian itu sendiri bukan merupakan kewajiban.

"Tetapi, lebih menjadi kebutuhan masyarakat demi keselamatan dalam berkendaraan di jalan," katanya.

Direktur Jenderal Perhubungan Darat Departemen Perhubungan Iskandar Abubakar sebelumnya mengemukakan bahwa rencana pelaksanaan kir untuk kendaraan roda empat pribadi serta semua kendaraan bermotor roda dua itu akan diwajibkan setiap dua tahun sekali.

"Setelah beberapa kali periode, nantinya mungkin satu tahun sekali. Untuk itu kami masih menyusun formulanya," kata Iskandar.

Rencana pelaksanaan kir bagi kendaraan roda empat pribadi serta semua kendaraan bermotor roda dua disampaikan Iskandar hari Rabu lalu (Kompas, 21/8).

Menurut Iskandar, pelaksanaan kir bagi kendaraan roda empat milik perorangan serta kendaraan bermotor roda dua sudah ada dasar hukumnya, yakni dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

Akan tetapi, untuk sementara, pelaksanaannya lebih dulu dilakukan di wilayah Jawa dan Sumatera. "Baru kemudian ke daerah lain," kata mantan Kepala Direktorat Bina Sistem Lalu Lintas dan Angkutan Kota itu.

Tiga unsur

Iskandar juga menambahkan bahwa ada tiga hal pokok yang akan menjadi parameter dasar penilaian kelaikan satu unit kendaraan roda empat pribadi maupun kendaraan bermotor roda dua.

Pertama, soal emisi gas buangannya yang tidak boleh melebihi ketentuan yang ditentukan pemerintah.

Kedua, masalah rem dari kendaraan roda empat pribadi maupun kendaraan bermotor roda dua tersebut. "Sebab, tanpa rem yang baik, jelas kendaraan tersebut sudah tidak laik jalan lagi," tegas Iskandar.

Yang terakhir masalah lampu yang merupakan alat utama untuk penerangan dalam perjalanan malam hari.

"Bila ternyata satu unit kendaraan roda empat pribadi maupun kendaraan bermotor roda dua tidak memenuhi ketiga syarat tadi, ya terpaksa harus apkir," tegasnya. (OSA/NIC)

Jangan ngomong omong kosong. (22/8-'03)

Jangan ngomong omong kosong. Topic List < Prev Topic | Next Topic >
Reply | Forward < Prev Message | Next Message >


Omongan2 diberita seperti dibawah adalah omongan2 idial yang omong kosong belaka.

Omongan itu hanya omongan yang perlu di lontarkan dalam rangka pemenuhan target ngomong yang termasuk dalam target yang harus dicapai dalam proposal kepada penyandang dana untuk dapatnya institusi yang dikelolanya berjalan.

Tapi omongan yang dilontarkan hanyalah idial2 omong kosong yang tidak mungkin dapat berjalan dilingkungan masyarakat Ngindo yang sedang sakit KKN yang sangat parah sekarang ini.

Himbauan/ajakan moral untuk rela tidak KKN tidak mempan lagi di negeri/bangsa yang sakit ini.

Pengawasan yang independen dan langsung tanpa pamrih mungkin akan dapat memberi hasil.

Daripada hanya berkutat hanya sekitar banyak ngomong saja adalah lebih baik langsung pada aksi2 pengawasan/ pemberantasannya saja,dimulai dari yang sederhana/kecil2 saja dahuluTidak perlu kepada pemberantasan korupsi yang besar2 yang dapat dicium tapi tidak dapat dan sulit ditelusuri karena resistensi yang tinggi. Yang beginian dibelakangkan saja dulu.

Mulailah aksi pemberantasan langsung ke yang banyak berhubungan dengan masyarakat dan terbuka.Mungkin dengan hanya memonitor/ mengikuti/mengawasi langsung dan kontinue tiap hari terus menerus sepanjang tahun dengan tidak mengenal berhenti pelaksanaan pelayanan umum yang setiap hari ramai dikunjungi masyarakat tapi rawan akan pemerasan /sogok/ pelicin/ tembak. Mis. keinstansi yang mengeluarkan SIM/STNK,kebalai KIR DLLAJR.Tentunya hal ini bisa dilakukan dengan terlebih dahulu para LSM-2 itu telah mengetahui dan menguasai ketentuan dan prosedure baku dari pelaksanaan pelayanan itu.Tidak perlu publikasi2an karena publikasi itu akan dengan sendirinya bekerja bila benar2 LSM2 itu bekerja dan tanpa pamrih baik ekonomi maupun politik.

Saya kira saya tidak asal omong doang;saya kritik omongan2 LSM itu sekalian saran aksi jalan keluarnya ,karena mereka2 itu kalau mau,punya potensi untuk melaksanakan itu.Supaya 'jangan ngomong omong kosong' doang.

GD

http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0308/21/nasional/503711.htm

Soal Korupsi, Perempuan Juga Harus Introspeksi

Jakarta, Kompas - Perempuan dinilai juga harus berintrospeksi dalam masalah pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Sebab, perempuan berpengaruh kuat terhadap upaya pemberantasan korupsi. Perempuan juga diharapkan berperan besar menanamkan norma antikorupsi dalam keluarga.

Harapan ini muncul dalam diskusi "Perempuan Tolak Korupsi" yang diadakan Dewan Pimpinan Pusat Partai Keadilan Sejahtera di Jakarta, Selasa (19/8). Hadir sebagai pembicara adalah Koordinator Indonesian Corruption Watch Teten Masduki, Emmy Hafild dari Transparency International (TI) Indonesia, anggota DPR Nurdiati Akma, dan Nursanita Nasution dari DPP PKS.

Emmy mencontohkan, perempuan yang telah berkeluarga wajib mengkritisi perolehan uang suaminya yang digunakan untuk membiayai kebutuhan keluarga. "Perempuan jangan hanya senang jika suami bisa beli mobil, rumah, dan bisa membiayai sekolah anak-anak. Tetapi, harus tanya dari mana saja uangnya? Apakah dari gaji suami itu cukup untuk hal-hal tersebut?" kata Emmy.

Emmy kurang setuju jika perempuan sering disalahkan dan dituding sebagai salah satu pemicu korupsi. Sebab, korupsi tidak terkait pada gender. Namun, Emmy tidak menampik perempuan berperan besar dalam menguatkan norma antikorupsi dalam pendidikan di keluarga.

"Kepada anak-anak pun, sejak dini sudah harus ditekankan norma-norma antikorupsi. Kalau bagi kita dulu ’damai’ dengan polisi itu biasa atau ’nembak’ SIM itu biasa, anak-anak sekarang harus dididik tidak boleh lagi seperti itu," katanya.

Emmy dan Teten menekankan, pemberantasan korupsi harus melalui konsolidasi besar-besaran semua elemen masyarakat. "Siapa pun yang berkomitmen memberantas korupsi harus kompak, bergerak bersama tanpa membawa bendera kelompok atau golongan masing," kata Emmy.

Sementara Teten mengatakan saat ini sejumlah lembaga swadaya masyarakat berupaya melakukan politicians tracking (pelacakan terhadap politikus) sehubungan dengan agenda pemilihan umum anggota legislatif secara langsung.

Teten berharap, dalam pemilu mendatang publik dapat secara rasional memilih partai dan anggota legislatif. Hasil pelacakan politikus itu akan digunakan untuk menginformasikan kepada publik politikus-politikus yang dianggap tidak bersih.

Teten juga meyakini persoalan korupsi bukan semata persoalan hukum, melainkan politis. Oleh karena itu, keinginan politik yang kuat dari pemimpin nasional sangat berpengaruh terhadap lancar tidaknya upaya pemberantasan korupsi.

"Kalau elite-elite politik yang nanti terpilih masih seperti yang sekarang ini, enggak bisa diharapkan pemberantasan korupsi dapat berjalan lancar," ujar Teten.(B14)

tetap berkubang di mental ORBA/KKN (22/8-'03)

tetap berkubang di mental ORBA/KKN Topic List < Prev Topic | Next Topic >
Reply | Forward < Prev Message | Next Message >

PKB bukan partai baru lahir.

PKB termasuk lima besar pemenang pemilu 1999 yll.

PKB adalah partai yang penghuninya berbasis NU dan diurus oleh elite/tokoh NU a.l GD.

PKB adalah termasuk partai yang lahir pada era reformasi yang bermotto anti mental/moral ORBA/KKN.

Tetapi kalau sudah menyangkut untuk kepentingan sendiri maka para kader/elite/tokoh partai itu kembali berkubang ke mental/moral jahilliah 'menghalalkan segala cara',mental/moral ORBA /KKN yang ditentangkannya.

PKB ini adalah sebuah institusi (politik /partai) yang akan berjalan bila digerakkan oleh manusia2 yang berada didalamnya.

Kasus PKB ini adalah ibarat gunung es yang nongol ditengah lautan saja.

Kasus PKB ini memberikan gambaran sebenarnya bagaimana serius sakitnya bangsa/negara ini :' (

http://www.kompas.com/kompas%2Dcetak/0308/22/opini/505231.htm

Kok Bisa Partai Politik Tertipu Begitu Mudah

KITA tentu tertawa membaca berita mengenai partai politik yang tertipu ketika dimintai dana verifikasi. Banyak parpol yang dihubungi orang yang mengaku Ketua Verifikasi Partai Politik, tetapi baru satu yang mengaku memenuhi permintaan tersebut yakni Partai Kebangkitan Bangsa.

Pertanyaan yang segera muncul, mengapa begitu mudah parpol itu bisa tertipu? Bukankah modus penipuan seperti itu sudah sering terjadi dan ditulis di koran-koran?

Bisakah kita terima, ketertipuan itu sebagai sebuah keluguan? Ataukah itu mencerminkan sikap kita untuk menggampangkan persoalan?

TERUS terang kita khawatir dan menakutkan hal yang terakhir itu. Kita sering begitu mudahnya mengeluarkan uang untuk kepentingan tertentu, karena diperkirakan hal itu akan menguntungkan diri kita.

Mustahil parpol mau mengirimkan uang dalam jumlah besar kepada Ketua Verifikasi Partai Politik kalau tidak ada motifnya. Motif yang segera bisa kita tangkap adalah keinginan agar verifikasi yang dilakukan kepada parpol tersebut dipermudah dan dipercepat.

Sekarang ini memang parpol-parpol sedang menunggu hasil verifikasi yang dilakukan Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia. Hasil verifikasi itu akan menentukan apakah mereka berhak atau tidak mengikuti Pemilihan Umum 2004 yang akan datang.

KALAU motif dari parpol-parpol itu adalah untuk melancarkan proses verifikasi, lalu kualitas parpol seperti apa yang akan kita dapatkan di pemilu mendatang.

Apakah bisa kita percaya bahwa pemberian itu sebagai sebuah ketulusan, sebuah kepedulian kepada sebuah lembaga negara? Ataukah ini dianggap sebuah investasi yang diyakini bisa diperoleh kembali ketika berkuasa kelak.

Dari pengalaman selama ini, sulit kita membayangkan adanya sikap tanpa pamrih itu. Selalu ada udang di balik batu, dari setiap langkah yang ditempuh.

INILAH persoalan yang lebih dalam yang harus kita renungkan di balik kasus penipuan terhadap parpol-parpol itu. Apalagi kalau kita kaitkan dengan keinginan kita mengusung program reformasi itu yakni memberantas dan menghapuskan KKN, korupsi, kolusi dan nepotisme.

Mustahil kita bisa memberantas KKN, kalau perilaku para pemimpin kita juga erat dengan segala hal yang berbau KKN. Pemberian uang dengan motif tertentu merupakan cikal bakal dari perilaku KKN itu.

Hal seperti itu memang bukan hanya dilakukan oleh parpol-parpol saja. Dalam perikehidupan kita sehari-hari, kita biasa melakukan hal seperti itu. Untuk mengurus KTP atau SIM, tidak mau repot-repot pakai uang pelicin. Untuk mengurus paspor, tak mau capek beri uang pelicin. Bahkan ketika melanggar peraturan lalu lintas, kita memilih memberi uang daripada harus dikenai bukti pelanggaran.

MEMBERI dengan motif tertentu sepertinya sudah menjadi keseharian kita. Kadang-kadang kita melakukannya sebagai rasa belas kasihan. Tetapi, cara seperti itu jelas sangat tidak mendidik dan akhirnya justru semakin menyuburkan perilaku KKN.

Perilaku KKN memang tidak harus yang besar-besar, yang mencapai triliuan atau miliaran rupiah. Tindak KKN bisa terjadi pada tingkatan yang lebih kecil seperti urusan SIM atau KTP tadi. Tetapi, mulai dari yang kecil itulah kita menganggap biasa ketika kemudian uang pelicinnya meningkat menjadi ratusan ribu, jutaan, miliaran, hingga triliunan rupiah.

LALU mau dibawa ke mana negeri ini, kalau hal-hal seperti itu kita anggap biasa? Dari mana pula kita harus memulai perbaikan itu?

Kita sependapat bahwa semua itu harus dimulai dari yang kecil. Kita memulai dari diri sendiri, dari keluarga terdekat kita untuk tidak atau menolak korupsi.

Menarik sebuah diskusi yang diselenggarakan Indonesia Corruption Watch dua hari lalu yang membahas soal "Perempuan Tolak Korupsi". Para pembicara mengajak para istri dan juga anak-anak untuk selalu mempertanyakan uang yang diperoleh suami untuk kebutuhan keluarga. Setiap keluarga diajak untuk memulai gerakan melawan korupsi.

TUGAS kita bersama adalah membangun kualitas kehidupan dan manusia Indonesia yang lebih baik. Kita harus mampu melahirkan manusia-manusia yang mempunyai integritas dan berkarakter yang baik.

Jujur kita sering merasa sedih melihat kualitas bangsa ini. Apalagi ketika dominasi materialisme sepertinya begitu menguasai kehidupan bangsa ini. Sepertinya harta kekayaan itu merupakan segala-galanya dan kita sampai rela untuk mengorbankan martabat serta harga diri demi mencapai kepentingan yang satu itu.

MASIH adakah ruang dan waktu untuk memperbaiki semua itu? Kita tentunya percaya bahwa semua ini masih bisa diperbaiki, karena dasar yang dimiliki bangsa ini tidak seburuk seperti yang kita lihat sehari-hari.

Persoalannya kita tidak memiliki para pemimpin yang mampu membawa bangsa ini menuju ke perbaikan. Kita mengecam perilaku masa lalu yang penuh dengan praktik KKN dan menggantinya. Namun, para penggantinya ternyata tidak lebih baik dari yang sebelumnya. Bahkan ada yang mengatakan bahwa keadaan sekarang ini jauh lebih buruk, lebih liar dari masa lalu yang kita kecam itu.

Selain memulai dari rumah kita masing-masing, kita membutuhkan pemimpin yang bisa memberikan contoh. Kita membutuhkan lagi pemimpin seperti Mohammad Hatta yang tidak pernah silau oleh kemilau harta.

Ketika kita berhasil mendapatkan pemimpin yang tegas, yang tidak pandang bulu, berani menegakkan hukum dan peraturan, niscaya kita bisa memerangi KKN. Singapura, Korea Selatan, dan Cina sudah membuktikan, ketika ada seorang pemimpin yang bersih dan tegas, maka KKN itu bisa diberantas.

***

Re: [apakabar] MAU KEMANA INDONESIA? (7/8-'03)

Re: [apakabar] MAU KEMANA INDONESIA?

Pada zamannya,Nusantara yang dipersatukan oleh Majapahit dibawah patih Gajah Mada adalah dengan cara penaklukan Majapahit dengan kekerasan atas kerajaan2 besar maupun kecil dseluruh Nusantara hingga ke kerajaan melayu.
Dengan melemahnya kekerasan kepemimpinan pusat kerajaan majapahit setelah tiadanya Gajah mada/hayam Wuruk maka penaklukan itu buyar dan lepaslah kerajaan taklukan itu kembali berdiri sendiri sendiri.
Pada zaman Hindia Belanda,Nusantara ini dikuasai oleh kerajaan Belanda yang berpusat di Amsterdam menjadi daerah jajahannya dengan kekerasan dan politik divide et impera atas kerajaan2 dan daerah2 satuan adat yang tersebar di nusantara
Hindia Belanda itu dipersatukan hanya dalam tata pemerintahannya saja,tetapi secara kebangsaan tidak pernah dipersatukan malah sebaliknya di pecah2 (divide et impera).
Spirit kebangsaan itu lahir di Hindia Belanda karena perasaan senasib sependeritaan/sepenanggungan dijajah belanda dan tercetus pada sumpah pemuda segelintir orang2 di Hindia Belanda pada 1928.
Pada masa itu pemuda2 itu hanya sebagian kecil dari rakyat dari daerah2/kerajaan2 jajahan di nusantara itu,yang semakin lama setiap tahun perasaan kebangsaan itu semakin meluas karena tekanan2 situasi politik di eropah yang semakin terbuka dan demokratis terhadap politik Belanda di Hindia Belanda.
Pada 1945,rasa kebangsaan di Hindia Belanda itu mencapai puncaknya untuk mau berdiri sendiri dan memroklamirkan diri menjadi negara Indonesia dengan mengambil alih wilayah Hindia Belanda menjadi wilayah negara/pemerintahannya.
Pengakuan berdirinya Negara Indonesia dari Pem.Belanda baru diberikan pada 1949 dan secara resmi Pemerintah Belanda menarik diri dari Hindia Belanda.
Pengakuan Belanda pada 1949 adalah pengakuan terhadap Negara Indonesia yang berbentuk negara serikat.(RIS).
Pada 1950 atas kesepakatan dari para kepala negara2 bagian didalam RIS itu ,maka negara2 bagian itu digiring kembali kebentuk negara kesatuan.
Saya tidak mengatakan bahwa negara2 bagian itu dilebur menjadi negara kesatuan,tapi digiring menjadi negara kesatuan karena bukan atas dasar referendum rakyat negara2 bagian itu,Dia dipersatukan akibat tekanan2 politik dari para elit politik dan kekerasan laskar2 (yang mengatasnamakan rakyat revolusioner) yang pro negara kesatuan terhadap elit2 politik yang pro negara bagian/daerahnya yang secara idiologis kurang populer waktu itu.(idiologi yang populer waktu itu ialah idiologi demkrasi/ kerakyatan yang pro ke negara kesatuan)

Sejak pengakuan kedaulatan RI 1949 ,NKRI dipimpin oleh pemimpin2 dan elit2 yang belum pengalaman dibidang pengelolaan negara yang sangat luas/heterogen,pemimpin2/elit2 yang penuh rasa euphoria kemerdekaan dan merasa berjasa sehingga terjadi pemerintahan yang tidak baik dan salah urus yang mengakibatkan kepincangan2 pusat dan daerah,korupsi/KKN yang merajalela.
Hal inilah yang akan menimbulkan benih2 disintegrasi kembali yang mendorong timbulnya keinginan untuk kembali menjadi bagian2/daerah2 yang berdiri sendiri2 lagi dalam bentuk/wilayah yang mungkin sebagian tetap (seperti sebelum NKRI) atau telah berobah baru berbeda dari sebelum NKRI akan tetapi tidak untuk kembali menjadi RIS.

Ahirnya sejak NKRI 1949 hingga 1998 (Orba tumbang) pemimpin2 NKRI itu dalam mempertahankan NKRI itu jatuh kepada cara2 seperti pada zaman Majapahit dan Hindia Belanda yaitu dengan cara kekerasan dengan sistim pemerintahan yang otoriter/ sentralistik.

Jadi pada zaman Majapahit,zaman Hindia Belanda terus ke zaman Orla terus ke zaman Orba,Nusantara ini dipersatukan bagaikan 'untaian mutu manikam ' adalah dengan cara2 kekerasan melulu tidak pernah atas dasar kesadaran rakyatnya sebagai satu bangsa yang senasib sepenanggungan.
Benih disintegrasi / berantakannya 'untaian mutu manikam' itu tertap mengintip NKRI itu..
.
Pada masa abad 21 sekarang dalam era keterbukaan,demokrasi ini dimana era otoriter/sentralistik sudah ketinggalan zaman dan tidak akan dapat diterima rakyat lagi,maka apabila negeri ini tidak dikelola dengan baik maka kecendrungan yang terjadi saya pikir adalah ' untaian mutu manikam' dari sabang hingga merauke itu akan berantakan tercerai berai kembali seperti sebelum NKRI dan tidak untuk kembali menjadi RIS.tetapi menjadi bagian2/daerah2 lagi yang berdiri sendiri2 dalan bentuk/wilayah baru seperti Yugoslavia atau Uni Sovyet.
Tidak akan menjadi seperti Lebanon,Sudan atau Negara Syariat.

Masalah2 Aceh dan Papua adalah gejala2 disintegrasi yang dihadapi NKRI.
Kita perlu mencermati gejala2 lahirnya propinsi2 baru dan kabupaten2 baru dari sudut pandang lainnya pula.

----- Original Message -----
From: Tangkisan Letug
To: apakabar@yahoogroups.com
Sent: Thursday, August 07, 2003 8:48 AM
Subject: [apakabar] MAU KEMANA INDONESIA?

MAU KEMANA INDONESIA?
Oleh Tangkisan Letug

Tiba-tiba seorang anggota minoritas di dprd
menginterupsi atas usulan seorang wakil
tentang perlunya penegakan syariat di daerah.
Tetapi apa jawaban seorang wakil
yang merasa mewakili mayoritas tingkat
kabupaten saja?

"Bila saudara merasa tidak setuju
dengan penerapan syariat karena beda agama,
silahkan saja saudara pergi dari Indonesia,
dan mencari tempat aman di luar negeri sana!"

Inikah mental seorang wakil rakyat
di negara Pancasila kita?

Di manakah semangat kebangsaan
yang mendasarkan diri pada asas keadilan dan
kesetaraan sebagai warga bangsa
tanpa diskriminasi?

Akankah Indonesia seperti Lebanon,
dimana minoritas akan terus digencet
hingga menjadi tidak kerasan di negeri sendiri?

Ataukah seperti di negara-negara Afrika,
di mana gencet menggencet antar etnis
terus terjadi?

Akankah Indonesia sedang menjadi Sudan kedua?

Apakah Indonesia identik dengan bangsa Syariat?

Sederet tanya dibuka oleh sebuah cerita,
yang sampai ke telingaku, dibawa oleh kawan lama,
hingga semalam suntuk mata tak bisa pejam
hingga kutuliskan dalam kata.

7 Agustus 2003