Tuesday, May 1, 2007

Re: Pemberantasan KKN, Mungkinkah? (7/9-'03)

Re: Pemberantasan KKN, Mungkinkah? Topic List < Prev Topic | Next Topic >
Reply | Forward < Prev Message | Next Message >
Sebenarnya pada 4/9 yll di apakabar ini,tulisan Djohan ini telah saya komentari seperti dibawah ini:
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Rasionalisasi pegawai negeri RI memang sudah saatnya dilakukan karena begitu tidak efisiennya kerja birokrasi pemerintahan RI itu.

Kelebihan pegawai negeri ini adalah produk Orba yang membuat lembaga birokrasi pemerintahan itu menjadi lembaga social ketenagakerjaan sekaligus lembaga politik sebagai salah satu pilar Golkar disamping dua pilar lainnya yaitu ABRI (sebutan waktu itu) dan Ormas2 Golkar.

Djohan ini kelihatannya terlampau terpukau pada gaji resmi pegawai negeri yang rendah itu.

Djohan tidak melihat 'take home pay' resmi pegawai negeri itu.
Hampir semua instansi mengadakan insentif2 kepada pegawainya yang diperoleh secara resmi melalui anggaran baik APBN atau APBD.

Pada instansi pusat maupun daerah yang ada mengelola anggaran pembangunan maka terdapat alokasi pada anggaran itu untuk operasional pembangunan yang besarnya berkisar 5 s/d 10 % yang juga diperuntukkan untuk kesejahteraan pegawai instansi ybs.

Demikian halnya dinstansi2 pemungut pajak,bea cukai dan retribusi baik pusat maupun daerah maka sekitar 5% dari hasil pemungutan itu langsung digunakan untuk operasional instansi itu.
Hanya bagaimana proporsi pembagian alokasi anggaran operasional itu mulai dari pegawai terendah s/d tertinggi tergantung kepada pimpinan2 instansi itu .

Masalah penggajian pegawai negeri itu memang perlu mendapat perhatian tetapi bukan itu merupakan akar masalah utama dari terjadinya KKN itu

Sudah merupakan rahasia umum bahwa di lembaga legislatif baik pusat maupun daerah yang para anggotanya telah diberi pendapatan jauh diatas gaji pegawai negeri gol .IV-E masih ramai dengan amplop2 berisi wang atau traveller check yang berseliweran tiap hari.

Saya melihat bahwa masalah utamanya adalah masalah budaya KKN yang sudah merasuki masyarakat itu disatu sisi dan masalah kesadaran hukum (positif) yang rendah serta law enforcement yang tidak berjalan disisi yang lain.

Kesadaran hukum sebagian besar masyarakat kita menyangkut KKN itu masih berada pada kesadaran hukum tradisional/tidak tertulis seperti kata Rahmat Subagya " Mencuri buah dari orang sedesa merupakan dosa,sedangkan dari orang lain atau dari negara tidak disertai rasa salah"

Budaya KKN itu akan berangsur2 berkurang bila kesadaran hukum (positif) itu meningkat yang diperoleh dengan law enforcement yang tegas.Tetapi sebaliknya juga law enforcement yang tegas akan dapat dilaksanakan bila kesadaran hukum positif itu telah tinggi.
Hal ini sangat dilematis karena dua aspek itu sangat berkaitan erat dan yang mana yang harus terlebih dahulu merupakan masalah tersendiri pula tetapi paling tidak akar masalah utama itu sebenarnya di kedua aspek itu.

Untuk ini diperlukan pemimpin negeri ini yang berkesadaran hukum positif yang tinggi,berintegritas tinggi untuk bisa melaksanakan law enforcement yang tegas dan berkesinambungan.

GD


----- Original Message -----
From: jonathangoeij
To: apakabar@yahoogroups.com
Sent: Sunday, September 07, 2003 3:27 PM
Subject: [apakabar] Pemberantasan KKN, Mungkinkah?

Pemberantasan KKN, Mungkinkah?
* Masukan untuk Para Calon Presiden

Oleh Djohan Effendi

Tulisan ini terutama saya tujukan kepada para calon presiden yang,
bila kelak terpilih, akan memimpin negara kita yang kini masih
bergumul dengan keterpurukan akibat krisis multidimensi. Keinginan
ini muncul saat mengikuti paparan beberapa calon presiden dalam acara
di televisi tentang apa yang akan menjadi program utama mereka dalam
usaha membawa bangsa ini ke luar dari situasi krisis.

Hampir semua calon presiden berbicara tentang masalah korupsi,
kolusi, dan nepotisme (KKN) sebagai salah satu tantangan yang harus
diberantas. Mudah- mudahan, bila ada nilainya, bisa dijadikan bahan
masukan dalam mengisi masa depan bangsa kita. Saya ingin mulai dengan
pengalaman yang amat pribadi.

Mulai 1 Maret lalu saya memasuki masa pensiun dua tahun sebelum
waktunya. Percepatan ini adalah atas permintaan saya sendiri. Saya
bekerja sebagai pegawai negeri sejak 43 tahun lalu, 1 April 1960.
Dalam karier sebagai pegawai negeri, saya telah mencapai posisi
puncak. Dalam jabatan struktural, saya pernah berada di eselon satu
sebagai Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Agama Departemen
Agama, sedangkan untuk jabatan fungsional, saya sebagai ahli peneliti
utama.

Pangkat dan golongan saya adalah lV/e. Karena itu, gaji pokok pensiun
saya adalah jumlah yang tertinggi selaku pegawai negeri RI, yaitu Rp
1.125.000 (satu juta seratus dua puluh lima ribu rupiah). Jumlah ini
akan ditambah tunjangan istri 10 persen dan tunjangan beras 20 kg.

Saya masih beruntung karena memperoleh pensiun lain selaku bekas
sekretaris negara, sebesar Rp 650.000 (enam ratus lima puluh ribu
rupiah) ditambah tunjangan istri 10 persen.

Alhasil, setelah 43 tahun bekerja sebagai pegawai negeri dan 13 bulan
sebagai sekretaris negara, jumlah pensiun yang saya terima sekitar Rp
2.000.000 (dua juta rupiah) per bulan. Lumayan untuk sekadar
menikmati sisa hidup suami istri di rumah sederhana tanpa mobil,
telepon, mungkin juga tanpa kulkas untuk menghemat listrik dengan
harapan badan tetap sehat sehingga tidak perlu ke dokter dan beli
obat di apotek dan tidak memperoleh undangan menghadiri pesta
perkawinan.

MELIHAT kenyataan itu, bisa ditarik kesimpulan, amat sulit
dibayangkan seorang pejabat untuk tidak melakukan korupsi. Sebab,
tanpa melakukan korupsi, agaknya tidak mungkin seorang pegawai negeri
yang mengandalkan hidupnya pada gaji semata mampu membangun atau
membeli rumah besar dan mobil pribadi, menyekolahkan anak-anaknya ke
perguruan tinggi, atau untuk menunaikan ibadah haji bagi yang Muslim
atau melaksanakan pesta perkawinan yang mewah dan meriah.

Dengan mengemukakan keberuntungan saya sebagai pensiunan pegawai
negeri, saya ingin menarik perhatian para politisi kita yang berkaok-
kaok tentang pemberantasan KKN. Pemberantasan KKN di negeri kita
adalah sebuah mission impossible, omong kosong. Maka, tidaklah
terlalu mengherankan bila semua usaha pemerintah untuk memberantas
KKN akan berakhir dengan kesia-siaan.

Itulah kondisi obyektif yang amat besar perannya dalam kesemarakan
KKN di negeri kita. Birokrasi yang korup tidak hanya merugikan
negara, tetapi juga amat membebani rakyat yang seharusnya memperoleh
pelayanan sewajarnya. Boleh dikata semua program pemerintah, rutin
atau proyek, tidak pernah diwujudkan sesuai dengan anggaran riil, apa
adanya.

Praktik mark up anggaran dan/atau pemberian komisi adalah kenyataan
yang pasti terjadi meski tidak dibuktikan. Praktik suap-menyuap yang
amat merugikan masyarakat adalah kenyataan sehari-hari yang terjadi
di semua jenjang birokrasi. Rakyat terpaksa mengeluarkan biaya sejak
urusan kecil, seperti perolehan KTP, hingga urusan besar di pusat.

Semua urusan yang berkait dengan keharusan memperoleh izin adalah
lahan untuk menambah penghasilan bagi pegawai negeri yang terkait
pemberian izin. Dari tukang agenda surat masuk hingga pejabat yang
berwenang memberi izin. Lebih-lebih di lingkungan yang berkaitan
dengan pendapatan negara, seperti perpajakan dan bea cukai. Ini baru
di lingkungan eksekutif.

Lingkungan lain, seperti yudikatif dengan segala instansinya,
kepolisian, kejaksaan, pengadilan, sampai-sampai rumah
pemasyarakatan, tidak sunyi dari praktik korupsi. Demikian pula di
lingkungan legislatif. Pendek kata, nyaris tidak ada ruang dalam
pemerintahan kita yang bersih dari KKN.

KONDISI menyedihkan yang dialami pegawai negeri ini agaknya mulai
terasa sejak bangsa kita ada dalam alam Demokrasi Terpimpin, ketika
kontrol sosial makin melemah. Untuk sekadar memberi gambaran, gaji
yang diterima pegawai negeri masa itu jauh lebih baik, dapat dilihat
dari kecukupan seorang pelajar yang menerima ikatan dinas, baik di
tingkat SLTP maupun SLTA. Ikatan dinas seorang pelajar sekolah guru
tingkat SLTP sebesar Rp 152 (seratus lima puluh dua rupiah) dan
sekolah kejuruan lain di tingkat SLTA sebesar Rp 172 (seratus tujuh
puluh dua rupiah).

Jumlah sebesar itu cukup untuk membayar indekos dan biaya hidup
sehari-hari, seperti jajan dan nonton di bioskop, bahkan kalau lebih
hemat bisa menabung sekadarnya tanpa memperoleh tambahan kiriman
wesel dari orangtua. Kira-kira sama dengan beasiswa yang diperoleh
seorang mahasiswa di universitas di luar negeri saat ini. Karena itu,
gaji yang diterima seorang pegawai negeri bisa diperkirakan cukup
untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Zaman normal ini berakhir
sekitar awal tahun 1960-an. Setelah itu, bangsa kita mengalami masa
tidak normal yang panjang dan entah kapan akan berakhir.

Jika menyadari kenyataan itu, akan terasa aneh bila saat ini orang
masih berbicara tentang pemerintahan yang bersih, tentang good
governance, dan sebagainya. Agaknya tak lebih dari pungguk merindukan
bulan. Tragis dan ironis sekali justru di masa kini, yang disebut
sebagai era reformasi yang lahir sebagai protes terhadap pemerintahan
Orde Baru yang dianggap penuh KKN, keadaannya, kata banyak orang,
menjadi lebih buruk, lebih parah, dan lebih merata.

TULISAN ini bernada pesimistis bahkan nyaris putus asa. Apa boleh
buat, karena saya tidak punya alasan untuk bersikap optimistis. Dalam
situasi batin yang pesimistis, saya ingin mencoba menyodorkan langkah
yang bisa diambil, bila mungkin untuk memperbaiki keadaan atau paling
tidak untuk menahan agar bangsa kita tidak lebih terpuruk dalam
kesemarakan praktik KKN.

Langkah tersebut adalah rasionalisasi birokrasi negara. Reformasi
tanpa rasionalisasi birokrasi rasanya tidak lebih dari sebuah
dagelan. Mengapa rasionalisasi birokrasi? Sebab, negara kita adalah
negara birokrasi. Hampir semua bidang kehidupan kita tidak lepas dari
birokrasi.

Situasi birokrasi negara kita tidak banyak berbeda dengan PT
Dirgantara Indonesia. Negara kita amat dibebani jumlah pegawai negeri
yang amat besar, tetapi tidak efisien dan tidak produktif. Lebih
membebani daripada melayani masyarakat.

Dengan menganalogikan birokrasi kita dengan PT Dirgantara Indonesia,
saya ingin menekankan langkah rasionalisasi birokrasi harus bermula
dengan pengurangan jumlah pegawai secara besar-besaran. Sebagian
besar pegawai negeri harus dirumahkan (bukan dikenai PHK). Artinya,
mereka tidak diberhentikan, hanya dinonaktifkan. Gaji mereka yang
dirumahkan tetap dibayar sampai masa pensiun tiba. Asuransi kesehatan
yang berlaku bagi pegawai negeri juga tetap diberlakukan untuk mereka.

Dengan merumahkan sebagian besar pegawai negeri, akan terjadi
penghematan listrik, telepon, ruangan, alat-alat perkantoran,
kendaraan, dan sebagainya. Tentu di antara mereka yang dirumahkan
masih banyak yang berusia produktif. Untuk mereka, seyogianya diberi
kemudahan membuka lapangan kerja baru. Selain kemudahan untuk
memperoleh kredit, prosedur untuk memperoleh izin usaha harus
disederhanakan, diperlancar, dan dipersingkat tanpa pungutan liar
yang telah membudaya di masyarakat.

Untuk satu dua tahun pertama, mereka hendaknya diberi keringanan
pajak. Mereka yang masih dipekerjakan adalah mereka yang memang
diperlukan dan harus dibayar dengan gaji yang mencukupi keperluan
hidup mereka yang wajar. Dengan demikian, diharapkan birokrasi kita
cukup ramping dan gesit dalam melayani kepentingan masyarakat. Semoga.


Djohan Effendi Penulis adalah Ketua Umum Indonesian Conference on
Religion and Peace