Tuesday, May 1, 2007

Sanksi Sosial bagi Koruptor, Sebuah Keharusan (4/9-'03)

Kastorius Sinaga: Sanksi Sosial bagi Koruptor, Sebuah Keharusan Topic List < Prev Topic | Next Topic >
Reply | Forward < Prev Message | Next Message >
Sebuah pendapat mengenai bagaimana menghadapi KKN yang telah meraja lela di negeri ini.
Bagaimana mendorong peng-aktualan-nya dilapangan yang menjadi permasalahan lebih2 bila pihak yang diharapkan mengadakan sanksi social itu sebenarnya apatis saja.
Kita tantangin penulis ini dan LSM yang dikelolanya dan LSM2 lainnya untuk jangan terlampau banyak ngomong omong kosong..doang

GD

http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0309/04/opini/541827.htm

Sanksi Sosial bagi Koruptor, Sebuah Keharusan

Oleh Kastorius Sinaga

Ketakberdayaan hukum memberantas KKN di negara ini sepertinya telah menjadi fakta. Khususnya saat kasus korupsi kelas kakap yang mendapat perhatian luas tetap menggantung atau diselesaikan secara kontroversial.

Pengumuman Kejaksaan Agung atas Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) terhadap dugaan korupsi Prajogo Pangestu tanggal 21 Agustus lalu, lolosnya Samadikun Hartono dari jeratan eksekusi putusan MA, atau "mengambangnya" penyelesaian kasus Buloggate yang melibatkan Ketua DPR Akbar Tandjung yang kini menjadi salah satu calon presiden, adalah beberapa contoh kecil untuk mempertanyakan keseriusan dan kemampuan elite reformasi dalam memberantas korupsi.

Ketidakberdayaan hukum akibat minimnya komitmen para elite reformasi menjadi dua faktor penyebab yang saling berkaitan dari ketidakpastian pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) di negara ini. Opini dari dua pengamat yang dimuat berturut-turut di harian ini memberi pesan yang secara sama-sama membenarkan situasi itu. Djohan Effendi, mantan Sekretaris Negara zaman pemerintahan Abdurrahman Wahid tanpa ragu mengatakan, pemberantasan KKN adalah mission impossible sejauh reformasi birokrasi masih tetap di atas kertas (Kompas, 1/9/2003). Praktisi sekaligus pengamat hukum, T Gayus Lumbuun bahkan secara karikatural menyatakan, dari sudut penegakan hukum pemberantasan korupsi tampak antara ada dan tiada.

Sebuah pertanyaan sosiologis menjadi relevan dikemukakan bila hukum positif berikut perangkat kelembagaannya menjadi tak berdaya atau powerless menghadapi para koruptor, sementara elite politik baru yang diharapkan memberantas korupsi ternyata tidak memiliki integritas dan kemauan serius memberantas KKN. Mekanisme apalagi yang masih tersisa sebagai kekuatan alternatif? Pertanyaan ini mengajak kita untuk kembali merenungkan sebuah pendekatan klasik tentang partisipasi civil society dalam pemberantasan KKN.

Mengakar dan kronis

Kita semua hampir sepakat, masalah korupsi, kolusi dan nepotisme masih mengakar secara dalam pada interaksi ekonomi, politik, maupun hukum Indonesia. Secara empiris, penyakit sosial ini sudah kronis karena melembaga dalam perilaku dan mental elite penyelenggara kekuasaan negara, baik yang di eksekutif, yudikatif, maupun legislatif. Bahkan, sering muncul analisis, korupsi sebagai bagian budaya politik elite telah menjadi "titik rawan" yang sering dimanfaatkan oleh sindikasi bersifat global untuk secara gampang meraup keuntungan ekonomi dari bumi Indonesia yang terkenal kaya dengan sumber daya alam itu.

Korupsi menjadi persoalan bukan saja karena menjadi faktor utama yang menghambat pemerintah gagal untuk mencapai tujuannya, yaitu peningkatan kesejahteraan dan pengentasan kemiskinan. Namun, karena praktik KKN amat potensial merusak kepercayaan masyarakat dan pasar terhadap negara. Dampak akhir dari situasi rusaknya kredibilitas ini adalah stagnasi mekanisme pasar sebagai alat redistribusi sumber daya berikut instabilitas sosial yang tinggi akibat kesenjangan dan kekecewaan masyarakat khususnya kelas menengah ke bawah.

Agak mirip dengan masalah pengembangan demokrasi, pemberantasan korupsi masih berkutat hanya sebatas prosedural formalistis mencakup pengadaan aturan baru seperti UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas dari KKN berikut pembentukan berbagai komisi atau badan baru, seperti KPKPN, KPPU atau lembaga Ombudsman, yang pada kenyataannya juga menempati posisi marjinal di dalam peta otoritas politik kita saat ini.

Lebih jauh, bila kita berangkat dari pengalaman selama hampir lima tahun era reformasi, penyebab kegagalan rezim reformasi dalam memberantas KKN ternyata lebih mencakup aspek sosiologis, seperti keterpasungan pemerintahan baru dalam warisan mesin birokrasi lama yang masih korup, orientasi tindakan anti- KKN yang kurang preventif ke depan yang lebih untuk memuaskan hati atau membalas dendam ke masa lalu dan lawan-lawan politik, kurangnya keteladanan tokoh elite reformis puncak untuk terbuka diperiksa atau diteliti asal-usul kekayaannya serta lemahnya kerja sama di kalangan pemimpin teras yang menyatakan diri sebagai reformis di dalam memberantas KKN.

Hukum adalah satu-satunya alat negara untuk menindak para koruptor demi rasa keadilan dan kesinambungan pembangunan itu sendiri. Namun, ia menjadi tak efektif karena kendala sosiologis di atas. Akibat selanjutnya adalah pemberantasan KKN lebih ditujukan untuk menangkap koruptor kelas teri, seperti kasus penangkapan Kito, seorang jaksa yang menjadi salah satu sumber informasi saat KPKPN mempersoalkan harta berlimpah dari Jaksa Agung MA Rachman. Artinya, upaya pemberantasan KKN tak mampu menyentuh perkara kelas kakap sehingga hukum terkesan diskriminatif, diterapkan secara tak berimbang sehingga lambat-laun negara cq pemerintah mengalami kehilangan kekuasaan moral terhadap masyarakat. Pada situasi di mana pemerintah kehilangan kendali moral terhadap masyarakatnya, para koruptor kelas kakap tentu akan semakin gampang untuk memengaruhi lembaga peradilan lewat kekuasaan uang yang dikorupsinya atau lewat aliansi politik strategis yang bersifat resiprokal.

Sanksi sosial

Oleh karena itu, menjadi amat jelas bila cita-cita memberantas KKN tak lagi dapat diletakkan hanya di pundak para elite pemimpin kita kini. Demikian juga hukum positif dan lembaga penegak hukum formal tak dapat dikatakan menjadi satu-satunya wadah untuk mengadili koruptor. Lebih jauh, menurut hemat penulis, kini kesadaran dan partisipasi masyarakat menjadi salah satu alternatif pemecahan lingkaran setan KKN.

Kesadaran dan partisipasi masyarakat merupakan satu bentuk kekuatan yang dalam banyak hal telah terbukti mencegah dan mereduksi berbagai epidemi sosial, seperti masalah kriminalitas. Bila kita sepakat bahwa korupsi juga merupakan penyakit sosial yang baik langsung maupun tidak langsung merugikan kepentingan masyarakat luas, amat masuk akal bila kesadaran masyarakat luas dimobilisir untuk memerangi KKN.

Ada banyak bentuk untuk mentransformasikan partisipasi dan kesadaran masyarakat ini ke dalam bentuk-bentuk konkret pemberantasan KKN. Antara lain adalah kampanye sikap zero tolerance to corruption serta penerapan sanksi sosial terhadap figur-figur pejabat atau pengusaha yang korup. Sanksi sosial ini dapat berbentuk character assasination (penghancuran karakter), alienasi sosial (pengucilan sosial) terhadap figur koruptor berikut anggota keluarganya atau simulasi peradilan komunal terhadap para koruptor dalam rangka pendidikan politik di tingkat masyarakat.

Penghancuran karakter para koruptor hanya dapat dilakukan bila media massa memiliki rasa keterpanggilan memberantas KKN dengan dukungan kuat dari elemen civil societies untuk secara bebas tetapi bertanggung jawab membedah kasus korupsi. Bukti efektivitas sanksi sosial ini pernah kita nikmati saat ICW lewat koordinatornya, Teten Masduki, membongkar kasus suap yang menimpa Jaksa Agung AM Ghalib pada masa pemerintahan Habibie tahun 1999.

Tentang metode yang terakhir, yaitu simulasi peradilan komunal terhadap koruptor, saya teringat pada uji coba yang dilakukan tahun 2000 oleh Urban Poor Consortium (UPC) pimpinan Wardah Hafidz. Ketika itu, LSM kecil yang punya dedikasi tinggi ini mengadvokasi kebocoran secara besar-besaran dana asal Bank Pembangunan Asia dalam rangka pelaksanaan program jaring pengaman sosial. Lewat simulasi peradilan komunal yang diselenggarakan di tingkat akar rumput, para lurah yang dianggap korup, dengan diperankan aktivis UPC, diadili oleh masyarakat yang dirugikan. Hasilnya, berupa pendidikan politik bagi masyarakat sekaligus penegasan kembali terhadap norma-norma sosial konstruktif di masyarakat bahwa pejabat publik harus menganut prinsip akuntabilitas. Berbeda dengan peradilan formal, character assasination, simulasi peradilan komunal serta penerapan sanksi sosial ternyata telah menimbulkan rasa takut berikut rasa malu para koruptor dan anggota keluarga yang menikmati hasil korupsi itu.

Pelembagaan sanksi sosial seperti contoh di atas akan dengan sendirinya mendorong terciptanya iklim di masyarakat untuk menganut sikap zero tolerance to corruption secara perlahan-lahan. Sikap seperti ini amat penting untuk mengimbangi rasa tak berdaya kita bersama terhadap pemberantasan KKN. Artinya, rasa-rasanya, sudah saatnya kembali para LSM, tokoh masyarakat, intelektual, mahasiswa, dan media massa, secara bersama lewat berbagai mekanisme pengorganisasian sosial yang ada, kembali mengangkat genderang perang melawan praktik KKN dan mengadili secara sosial figur pejabat dan pengusaha yang korup. Kalau tidak, penulis mengkhawatirkan bila gejala ketidakberdayaan hukum, inkonsistensi elite reformis dan apatisme sosial masyarakat secara bersama-sama akan mengawali krisis jilid kedua Indonesia tercinta ini.