Saturday, April 28, 2007

[INDONESIA-L] KELANA-1 : Ketidak fair-an elit Indonesia berdemokrasi. (19/6-'99)

To: indonesia-l@indopubs.com
From: apakabar@Radix.Net
Subject: [INDONESIA-L] KELANA-1 : Ketidak fair-an elit Indonesia berdemokrasi.
Sender: owner-indonesia-l@indopubs.com

Melihat perkembangan perolehan suara pemilu hingga hari ini 19/6 maka PDIP
telah diakui unggul dari partai2 lainnya tapi diperkirakan tidak lebih dari
40 % sehingga belum mayoritas tunggal.
Logika politiknya,maka perlu mengadakan koalisi dengan partai lain agar
dapat memuluskan PDIP jadi partai berkuasa;tentu logikanya ketua partai yang
mayoritas yang menjadi Presiden,sedangkan dari partai yang lain memperoleh
porsi kekuasaan lain.Dengan partai mana berkoalisi?
Partai/koalisi_partai yang mayoritas menjadi eksekutif (Presiden),dan yang
lain menjadi oposisi.
Tetapi sangat disayangkan,logika diatas tidak berlaku di Negara/Bangsa kita.
Belum lupa dari ingatan kita statement2 pro reformasi sebelum Pemilu dari
para elit,a.l "kwbulatan tekad pro reformasi untuk menumbangkan moral
status quo
(Soeharto dan partai Golkar cs)",telah muncul statement2 yang menghadang
Megawati untuk menjadi Presiden dari kawan2 yang pro reformasi ;Kesepakatan
Ciganjur telah dilupakan?;Trio Mega-Dur-Amien dengan kebulatan tekadnya
telah mulai berantakan?;jubir PKB menyatakan syarat koalisi bila Dur jadi
Presiden; jubir PAN menyatakan tidak akan koalisi dengan PDIP;dll
Kalau ini suara dari pro status quo ( Golkar,PPP cs),dapat dimengerti,tapi
ini dari para elit pro reformasi.
Pernyataan2 itu sungguh sangat di sayangkan;Begitu mulai menyangkut
pembagian kue(kekuasaan),maka sepertinya moral demokrasi politik tidak
berlaku lagi, sepertinya azas2 demokrasi akan diinjak2.

Apakah ini akan terjadi?

Apakah para elit yang kalah sampai hati meniadakan suara rakyat pemilih yang
menang ,demi berjuang untuk kepentingan pribadi,mengorbankan keinginan
rakyat pemilih yang menang?.Apakah rakyat pemilih yang menang itu tidak
bangsa/rakyat elit yang kalah itu juga?
Apakah karena rakyat pemilih hanya berkuasa sampai bilik pemungutan
suara,tapi tidak dapat bersuara lagi di MPR/DPR.?
Apakah para wakilnya yang masuk di MPR/DPR tidak lagi mengingat aspirasi
rakyat pemilihnya,tapi interest pribadinya yang akan
diperjuangkannya;artinya akan lagi membodohi lagi rakyat pemilih,karena ada
celah untuk menyelewengkan aspirasi rakyat pemilih,karena pemilihan Presiden
yang tidak langsung oleh rakyat,tapi melalui MPR oleh para wakil2 yang
dipilih rakyat?
Apakah cara2 orde baru dimana para ketua partai hanya mesin untuk
memenangkan pemilu saja (bila perlu dengan curang),tapi yang menjadi
presiden adalah orang lain?Apakah budaya orde baru ini masih harus
diteruskan?
Kapankah bangsa ini mau fair mengakui kemenangan orang lain dalam
berdemokrasi?
Kenapa pengakuan hanya untuk paling lama 5 tahun itu sangat susah,dimana 5
tahun kemudian belum tentu menang?
Ataukah hal ini disebabkan cara berpikir elit kita masih belum lepas dari
cara berpikir orde baru bahwa perebutan kekuasaan itu untuk dipegang seumur
hidup?

Semoga ini tidak terjadi,para wakil rakyat dan elit kita ini fairlah dalam
berdemokrasi!!

kelana