Sunday, April 29, 2007

[INDONESIA-L] KELANA-Strategi Mao 'desa mengepung kota' sedang ke Jakarta?(42) (25/1-'00)

[INDONESIA-L] KELANA-Strategi Mao 'desa mengepung kota' sedang ke Jakarta?(42)

From: apakabar@saltmine.radix.net
Date: Tue Jan 25 2000 - 10:08:49 MST


Kapan ke Jakarta..??????Telah uji coba,telah dijajagi untuk pemanasan(belum all out)...;
Pada masa Habibie kerususan di Aceh,Ambon,Papua terus dipelihara; percikan2 kecil di jakarta terus diadakan agar tetap hangat a.l peristiwa Istiqlal,tawur anak sekolah, pengembangan narkoba...;masa Gus Dur..lanjutan narkoba,Depok, Doulos,demo2 anti judi/maksiat, sampai demo2/apel2 an;pematangan dari daerah2.. kata cerdik pandai baru2 ini di koran...teori 'desa mengepung kota'-nya Mao.

Tapi jauh sebelum ini ketika Soeharto masih berkuasa,ketika ulubalangnya masih si Feisal Tanjung,KSADnya si Hartono,Pangkostrad-nya si mantu-nya,yaitu masa tahun 1997 ketika merebak ninja2 di kota2 di Jawa a.l di Situbondo,Tasikmalaya, Garut, Rengasdengklok, Pontianak, Makassar dst,ketika perlawanan pro-demokrasi kepada Suharto/pro status quo semakin menguat,maka Soeharto telah menuduhkan teori 'Mao' itu kepada lawan2nya,yang tujuannya dalam rangka melemahkan perlawanan pro demokrasi.
Jadi Soeharto itu sangat paham benar dengan teori Mao itu.

Masa2 sekarang ini,kerusuhan2 telah mulai merebak kemana2,dan diupayakan terus dipelihara didaerah itu.Ambon telah hampir setahun dipelihara dan dikembangkan keseluruh pelosok Maluku baik Utara, Tengah,Selatan/Tenggara;Aceh terus dipelihara diseluruh pelosok daerah;Papua tetap digosok2;Makassar terus di panas panasin;Mataram telah diledakkan; Bali,Kupang,Pontianak,Pelangka raya,Surabaya, Lampung,Riau/Batam,Medan terus digoyang sampai meledak dan kemudian bila telah matang,akan ke Jakarta.Akan matangkah?
Hal ini tergantung antisipasi dan counter pemerintahan Gus Dur dan pro demokrasi lainnya.

Dizaman orde baru/rezim Soeharto,realitas mekanisme pelaksanaan pemerintahan itu berjalan sesuai selera penyelenggaranya yang penuh dengan KKN,yang sangat jauh menyimpang dari kehendak/semangat dan jiwa dasar negara ini serta peraturan/ perundangan yang tersedia.

Sesudah pro status quo/rezim Soeharto/Habibie tumbang,pelaksanaan pemerintahan 'pro reformasi' yang diinginkan rakyat belum berjalan, padahal perangkat peraturan/ perundangannya sebagai pedoman yang menyemangati dan menjiwai mekanisme penyelenggaraannya telah banyak tersedia untuk itu.Malah realitas penyelenggaraan pemerintahan itu masih sarat dengan budaya2 penyelenggaraan pemerintahan masa orde baru/rezim Soeharto,yang didominasi oleh penyelenggaraan atas dasar budaya KKN.

Jika ditelusuri lebih jauh,budaya KKN ini yang sengaja atau tidak sengaja dikembangkan oleh Sorharto,adalah dilatarbelakangi kehausan Suharto beserta keluarga menjadi raja di raja di 'kerajaan Mataram', yang sadar atau tidak sadar sudah menjadi obsesinya.
Maka dalam penyelenggaraan pemerintahan republik ini,dia bersama kroninya menjalankan pemerintahan disatu pihak dengan cara2 feodal dengan memanipulasi budaya kejawen 'manunggaling kawulo gusti' itu yang ditambah dengan trik2 pembenaran diri sendiri dan dipoles oleh privilis karena merasa paling berjasa menyelamatkan negara, yang resultantenya terhimpun dalam kekuasaan yang otoriter. Ketentuan/perundang2an/hukum positif yang ada hanyalah untuk kawulo saja,tidak mempan untuk mereka,bila perlu untukpembenaran perbuatannya dia dengan kroninya mengeluarkan ketentuan2 spesiifik baru untuk mendukungnya.

Jika kita menghimpun seluruh peraturan/ ketentuan umum (UU) yang telah ada termasuk yang dibuat rezim Suharto selama 32 tahun itu dan membacanya, maka sebenarnya tidak ada alasan lagi untuk Negara ini tidak makmur dan maju apabila ketentuan pelaksanaanya yang lebih rendah sejalan dengan ketentuan yang lebih tinggi (UU);tetapi kenyataannya berbeda, karena yang dilaksanakan biasanya suatu ketentuan spesifik berupa Kepres yang senaknya dikeluarkan,yang tidak boleh dan tidak pernah diuji oleh MA terhadap UUnya.

Mekanisme penyelenggaraan pemerintahan pro reformasi itu termasuk mekanisme kontrol tidak berjalan,justru yang sangat dominan adalah peranan social kontrol rakyat (NGO, ormas, mahasiswa dll) yang bila tidak hati2 bisa berkembang kepada anarkhisme dan dapat dibelokkan untuk penumbangan atas pemerintahan yang ada .

Pergantian pemerintahan sekarang dari rezim Orde Baru/Suharto ke era pro reformasi adalah pergantian pemerintahan yang tidak biasa,bukan hanya sekedar pergantian kepala Negara/ Pemerintahan,tetapi adalah sekaligus penumbangan suatu sistem kekuasaan otoriter yang telah menjajah rakyat Indonesia itu ,kembali kepada Negara dan pemerintahan yang didasarkan pada sistem demokrasi/kedaulatan rakyat.Maka perggantian yang telah terjadi itu,adalah suatu momentum yang harus terus dijaga keberadaannya untuk dapatnya semangat dan perilaku penyelenggaraan pemerintahan itu dirombak dari sistem kekuasaan otoriter/KKN ke sistem kekuasaan yang berdemokrasi/kedaulatan rakyat.

Maka,peranan personil sangat menentukan.

Tidak ada artinya perjuangan penumbangan kekuasaan lama yang otoriter/KKN itu,bila personil atau paling tidak pimpinan2 penyelenggara pemerintahan sampai yang level terendah itu masih menggunakan personil rezim yang sebelumnya,yang kebanyakan sudah terkontaminasi pola pikir /sistem nilai / budaya pemerintahan dengan paradigma lama yang pasti susah dirombak.

Suatu hal yang terlupakan dalam pergantian personil ini ialah terpukaunya seluruh pihak kepada pergantian personil di pemerintahan tingkat pusat saja (Lembaga Tertinggi dan Tinggi Negara) dan melupakan tingkat Daerah.
Ini adalah hasil dari pembentukan pola pikir (mind set) dari rakyat Indonesia oleh rezim Orde Baru/Status quo/Soeharto,yang sudah terpaku pada pola pikir serba sentralistik,semua tergantung dan ditentukan pemerintah pusat/presiden dari Jakarta,Daerah adalah merupakan hinterland,jajahan yang tidak perlu diperhitungkan/dianggap.

Pergantian personil dibidang legislatif mulai dari tingkat pusat sampai ke daerah telah jalan dengan melalui mekanisme pemilihan umum,yang mau tidak mau harus diterima sebagai suatu kenyataan, walaupun masih terkandung unsur2 yang pro status quo/Suharto disana, tetapi tidak dominan lagi.

Seharusnya pergantian personil di bidang eksekutif juga,minimal yang disebut pejabat Negara itu tidak hanya ditingkat pemerintah pusat saja tetapi juga yang ditingkat Daerah.
Dengan telah tumbangnya pemerintahan Orde baru/Suharto,maka sebenarnya yang ditumbangkan itu adalah personil2 pejabat Negara/ Politis yang lama diganti dengan yang baru,yang berarti pergantian seluruh pejabat Negara/Politis baik ditingkat Pusat yaitu anggota DPR/MPR dan pimpinan2nya,pimpinan lembaga tinggi Negara BPK,MA,DPA, Presiden dan Menteri serta Panglima TNI dan pergantian pejabat Negara/ Politis ditingkat Daerah yaitu anggota DPRD tk I&II beserta pimpinan2nya,Gubernur KDH tk I dan Bupati/Walikota KDH tk II.

Pemerintahan 'Pro Reformasi' sudah hampir berjalan 100 hari,tetapi reformasi kelembagaan dan personilnya masih tersendat sendat. Lembaga2 Tertinggi Negara dan Tinggi Negara, paling tidak unsur pimpinan untuk lembaga yang paling strategis (MPR,DPR dan Presiden) sudah diisi wajah2 baru yang diperoleh atas dasar kompromi/dagang sapi kekuatan politik/ elit politik yang ada. Khusus lembaga kabinetnya, pimpinan2nya sudah diisi dengan pendekatan/model Gus Dur yang kompromis (balas jasa)juga,dengan mengakomodasikan seluruh kekuatan2 yang ada (baik yang pro status quo maupun yang pro reformasi) terwakili didalam kabinet Gus Dur itu,yang bisa kontra produktif kepada semangat reformasi yang mengawali perobahan pemerintahan itu, dan bisa menjadi penghambat atas keberhasilan Gus Dur dalam mengadakan reformasi disatu pihak dan menyelenggarakan pemerintahan sesuai harapan rakyat dipihak lainnya.

Lebih2 kedalamnya y.i unsur2 pendukung/birokrasi (Dirjen/Sekjen kebawah) masih banyak personil2 yang harus diganti/ dibersihkan yang telah karatan dengan nilai lama,agar dapat bekerja bersinergy keatas,kebawah dan kesamping sesuai harapan reformasi yang diinginkan, disamping MA,BPK dan DPA yang masih warisan Soeharto/ Habibie.

Hal diatas baru menyangkut Lembaga Tertinggi dan Tinggi Negara atau sering disebut Pemerintah Pusat,belum pemerintahan di daerah.Ternyata personil2 di pemerintahan daerah baik tk.I maupun tk.II,personil2 pimpinannya/pejabat negaranya masih 95 % adalah warisan pemerintahan Soeharto/status quo,demikian halnya personil2 pendukung/birokrasinya. Walaupun anggota2 DPRDnya sudah hasil pemilu reformasi,ternyata lembaga DPRD itu tidak mempunyai suatu kekuatan yang cukup mengadakan reformasi atas personil yang berada di eksekutif,karena tidak terdapatnya kekuatan atau koalisi kekuatan yang jadi mayoritas di DPRD itu. Malah sebaliknya faksi2 yang ada di DPRD justru saling menjegal/tidak bersynergi, yang tentu memperkuat posisi eksekutif yang warisan rezim status quo didaerah itu,malah menjadi penengah faksi2 itu .Akibatnya,jika secara teoritis bahwa legislatif itu adalah sumber legitimasi atas lembaga ,personil dan kinerja eksekutif itu, kenyataanya bahwa legislatif/DPRDyang ada tidak mampu melakukan perombakan eksekutif, malah sebaliknya posisi menentukan (sentral) Gubernur /Bupati/Walikota warisan Soeharto/ Status quo itu masih tetap tak tergoyahkan sebagaimana pada zaman rezim Orde baru.

Keberhasilan penyelenggaraan pemerintahan oleh eksekutif/Presiden itu sangat ditentukan oleh personil2 yang menyelenggarakan,mulai dari atas hingga yang paling rendah.Lebih2 penyelenggaraan pemerintahan yang hendak mengganti sistem pemerintahan lama ke sistem pemerintahan yang baru,maka mutlak diperlukan personil2 yang baru,minimal pimpinan2/ pejabat negara pada posisi yang strategis mulai dari atas sampai kebawah.

Memang Presiden dan menteri yang di level pemerintah pusat telah terdiri atas orang2 'baru',tetapi personil2 pendukungnya mulai dari Sekjen/Dirjen masih personil2 warisan reziim lama yang kebanyakan sarat dengan sistem nilai/pola pikir paradigma yang lama.Maka realitas yang kita lihat bahwa penyelenggaraan pemerintahan pusat itu masih sarat dengan paradigma lama a.l masih sarat dengan cara2 penyelenggaraan pemerintahan yang otoriter/ sentralistik dan yang berbau KKN atau malah sebagian personil2 warisan rezim lama itu yang terancam posisinya secara diam2 mendukung kembalinya kekuasaan lama yang dapat melindungi mereka.

Demikian halnya personil Gubernur (dan Bupati/Walikota), kenyataannya ,95 % masih warisan rezim Orde baru/Soeharto.Seharusnya dengan tumbangnya sistem pemerintahan Orde Baru,maka mereka2 itu juga ikut turun,karena keberadaan mereka disana adalah sebagai pejabat Negara/politis yang merupakan bagian dari rezim Orde baru,yang menurut UU 5/74 dan kenyataan proses penunjukannya adalah merupakan kepanjangan tangan/bawahan langsung Presiden di daerah dan bertanggung jawab langsung ke Presiden , yang tidak ada bedanya dengan keberadaan Menteri.

Dengan diberlakukannya UU no 22 mengenai pemerintahan Daerah pengganti UU no5/74,maka Kepala Daerah tk I dan II itu mutlak ditentukan oleh DPRD.Maka dengan demikian Gubernur/Bupati/Walikota warisan rezim Soeharto yang pengangkatannya berdasarkan UU 5/74,yang penetapannya/persetujuan orangnya mutlak oleh Presiden/Pemerintah Pusat, seharusnya sudah demisioner dan sudah harus diganti.

Ini adalah pekerjaan yang terlupakan dari,MPR,DPR.Presiden (Gus Dur) atau Pemerintah Pusat,juga DPRD2 Daerah.Memang anggota2 DPRD Daerah yang pro reformasi itu masihgamang dalam menjalankan tugas pengabdiannya,dan tidak mustahil mereka sering terpengaruh dan terjinakkan oleh eksekutif dengan berbagai cara a.l fasilitas2 dan wang.

Seharusnya pada saat dimulainya sidang umum MPR dimana personil2 Presiden (Habibie) dan Menterinya dinyatakan demisioner,maka juga jabatan pejabat negara/politis di daerah juga,yang merupakan kepanjangan tangan presiden sesuai UU 5/74 didaerah itu yaitu Gubernur/Bupati/Walikota,atas dasar pertimbangan politis dan atas dasar ketentuan/ peraturan UU 5/74 itu,dinyatakan demisioner hingga terpilihnya Gubernur/Bupati/Walikota oleh DPRD berdasarkan UU 22/99.

Selanjutnya,setelah Presiden&Wk.presiden itu terpilih dan membentuk kabinetnya, maka DPRD Daerah itu berdasarkan UU 22/99 mulai bekerja memilih Gubernur/Bupati/ Walikotanya secepatnya.

Dengan masih bercokolnya Gubernur/Bupati/Walikota dengan aparatur birokrasinya yang warisan rezim Orba/Status quo/Soeharto didaerah daerah,dengan masih adanya juga personil menteri Kabinet Gus Dur yang diakomodir dari pihak pro status quo itu, dan masih sangat banyaknya (95 %) personil birokrasi Menteri2/Lembaga dibawah Presiden juga warisan rezim Orba/Status Quo/Soeharto-Habibie,maka tidak mengherankan bahwa pelaksanaan pemerintahan ini baik menyangkut kebijakan dan operosionalnya disatu sisi maupun menyangkut hal politis atau teknis masih sarat dengan paradigma lama, atau sebaliknya pelaksanaan pemerintahan yang didasarkan kepada reformasi dan paradigma baru itu selalu sulit dan terhambat/digagalkan oleh tangan2 jahat yang pro rezim Orde Baru/status quo/Soeharto- Habibie.

Tidak terkecuali di daerah2.

Kita mengetahui bersama bahwa para pejabat Negara (Gubernur/Bupati/ Walikota),pejabat tinggi birokrasi di Pemerintah Pusat/Kabinet Gus Dur maupun di Daerah yang warisan rezim Orde Baru/Staus Quo itu dapat menduduki posisinya pada waktu itu adalah berdasarkan praktek2 KKN dan suap, yang berpusat kepada kesetiaan tanpa kecuali kepada Soeharto sebagai pusat kekuasaan.Makanya muncul suatu istilah pada waktu itu bahwa Gubernur/Bupati/Walikota di daerah adalah merupakan mandor2nya Soeharto/kroni/ keluarganya di daerah,sedangkan para Panglima Kodam,Komandan Kodim adalah satpam/ centengnya di daerah.

Sampai sekarang ini mereka2 itu takut dan setia kepada Soeharto,apakah ketakutan atau kesetiaan karena balas jasa atau karena rahasia2 mereka yang tersimpan ditangan Soeharto/pengikut Soeharto.

Tentu kita masih ingat bagaimana hiruk pikuk kasus Bupati Bantul,dimana untuk mendapat jabatan Bupati yang kedua harus menyediakan wang milyaran rupiah. Bagaimana hiruk pikuk kasus ijasah palsu calon Gubernur/pencalonan Gubernur NTB yang sekarang dilanda kerusuhan di Mataram,tapi dapat diredam dengan KKN dan suap melalui kroni/keluarga Suharto. Bagaimana di Sumatera barat,bagaimana di Riau,Jambi,Jawa Tengah dst yang sempat bermunculan kasus pencalonan Gubernurnya tapi dapat diredam/tidak diperdulikan karena kekuatan kroni Soeharto itu.

Tidak mengherankan apabila para provokator/tangan2 jahat mempunyai akses yang mudah keseluruh daerah di Indonesia ini dalam rangka menciptakan kerusuhan. Karena adalah sangat masuk akal bahwa para pejabat di daerah yang masih kroninya Orde Baru/Status quo/Soeharto-Habibie akan memfasilitasi mereka baik secara langsung maupun tidak langsung atau secara sembunyi2,main mata,baik karena rela/bersedia memfasilitasi untuk kembalinya pro status quo/Soeharto-Habibie kembali berkuasa, atau karena terpaksa karena rahasia2nya sebagai senjata penekan oleh pihak provokator/pro status quo itu.

Maka tugas yang terlupakan oleh Presiden Gus Dur ini,terlupakan oleh anggota2 DPR pro reformasi, terlupakan oleh anggota2 MPR pro reformasi,terlupakan oleh para menteri pro reformasi ini ,terlupakan/ sengaja dilupakan Mendagri/ Menteri Otonomi Daerah ini, terlupakan oleh anggota2 DPRD pro reformasi,harus segera diselesaikan secepatnya,kalau tidak
menginginkan daerah2 itu baik tingkat I maupun tingkat II,tetap memfasilitasi provokator2/tangan2 jahatnya didaerahnya.

Ajakan Gus Dur dengan hanya mengatakan agar 'tangan2 jahat itu sudah saya ketahui, agar kawan2 itu sadar dan tidak membuat kerusuhan lagi', adalah suatu ajakan yang tidak akan diperdulikan,karena hal yang mereka perjuangkan tidaklah sederhana melainkan sangat kompleks menyangkut eksistensi,kekuasaan,harkat, keamanan sendiri maupun keluarga yang perlu diperjuangkan dan dipertahankan.

Tidak mustahil bila Gus Dur dan pro reformasi hanya sekedar bertahan, tidak pro aktif dan tidak secepatnya menyelesaikan pekerjaan yang terlupakan diatas,maka strategi Mao 'desa mengepung kota' akan benar2 dapat terjadi sampai ke Jakarta.

kelana.

---