Monday, April 30, 2007

Kir Itu Cuma "Boong-boongan" Kok...(25/8-'03)

Kir Itu Cuma "Boong-boongan" Kok... Topic List < Prev Topic | Next Topic >
Reply | Forward < Prev Message | Next Message >


Informasi dibawah ini adalah kejadian rutin yang terjadi di Balai KIR pemda DKI Jkt/Dinas Perhubungan DKI kt.

Bukan berarti kejadian seperti ini hanya di Jakarta saja,tapi kerjadi menyeluruh di Balai2 KIR di daerah2 lain diseluruh Indonesia .

Tetapi bila misalnya Polisi mengusut atau kejaksaan menyelidiki,atau wartawan menelusuri atau BPK/BPKP/Irjen/Pengawas Daerah mengadakan pemeriksaan maka tidak akan pernah ditemukan tindakan2 kriminal ini,karena mereka2 ini akan mencari bukti2 formal atau bukti ketangkap basah.

Gubernur/Pejabat Pemda/Kepala Dinas Perhubungan/Kepala Balai KIR atau para petugas lapangan akan dengan lantang ber-teriak -2:'Mana Buktinya........mana buktinya?',sambil matanya dipelototin ke yang bertanya.:' (

GD

http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0308/25/utama/510001.htm

Senin, 25 Agustus 2003

Kir Itu Cuma "Boong-boongan" Kok...

SUPARDI, pengemudi angkutan umum yang tidak bisa disebutkan rutenya demi kelangsungan pekerjaannya, tampak berdiri menunggu kendaraannya yang tengah diperiksa seorang petugas kir Dinas Perhubungan DKI Jakarta di Ujung Menteng, Cakung, Jakarta Timur. Pemeriksaan dilakukan di depan pintu gedung kir yang panjangnya sekitar 60 meter. Petugas kir tak berseragam Dinas Perhubungan itu tampak memegang kertas.

Sesaat, petugas itu berdiri di depan kendaraan Supardi. Ia kemudian memerintahkan Supardi membuka tutup mesin mobilnya. Setelah itu, sang petugas memberi aba-aba agar Supardi jalan ke dalam gedung kir yang biasa disebut "jalur".

"Tadi hanya diperiksa nomor chasis-nya saja, sedangkan pengujian rem, lampu, pembersih kaca, klakson enggak ada. Begitu juga pemeriksaan soal asap kendaraan, enggak ada sama sekali," tuturnya.

"Proses kir" serupa terjadi pada kendaraan- kendaraan umum lainnya, baik truk boks maupun truk bak terbuka. "Di sini banyak calonya, kok, Mas. Jadi kalau ingin nge-kir, kasih mereka saja. Paling dua jam sudah selesai," ungkap Utoyo, pengemudi truk boks.

"Kalau saya, karena dari perusahaan, jadi sudah langsung diurus sama orang yang ditunjuk perusahaan. Jadi, saya enggak tahu berapa besar biayanya. Cuma memang kita disuruh datang bawa mobilnya, tetapi enggak perlu diperiksa lagi. Ya, mungkin formalitas saja. Kami sih bilangnya kir boong-boongan," kata Sinaga, seorang sopir, sambil tertawa.

Kebiasaan seperti itu, tambah Tejo, pengemudi angkutan umum lainnya, biasa terjadi pada hari Jumat dan Sabtu. "Mungkin mereka pada mau week end, jadi semua yang kir tinggal lewat saja. Yang penting sudah bayar ke calonya," tutur Pardede, sopir lainnya.

Di kalangan para sopir, ngekir bohong-bohongan seperti itu sudah biasa meskipun sebenarnya juga bisa dilakukan secara resmi dan lewat prosedur yang benar. "Asal benar- benar penampilan kendaraannya meyakinkan," kata seorang sopir.

Kalau tidak, petugas kir bisa saja mencari-cari. Entah bodi yang keropos, cat bumper yang berbeda dengan cat bodi, pembersih kaca hanya satu, atau karetnya sudah haus. "Bahkan, tutup bensin yang tidak asli pun kadang dipersoalkan," kata Pardede menambahkan.

Semua itu dilakukan petugas hanya agar pengemudi atau pemilik kendaraan mau memberi uang pelicin. Mereka sudah sangat mafhum berapa harus membayar untuk setiap "kesalahan" yang ditemukan petugas. "Setiap bagian dari kendaraan mempunyai tarif sendiri," katanya.

Ban yang gundul dikenai "tarif damai" Rp 5.000 untuk satu ban. Rem tidak pakem Rp 20.000, dan seterusnya.

"Kalau bodi kendaraan Rp 30.000, sedangkan lampu Rp 20.000. Begitu juga kalau kaca kendaraan retak, lebih baik cepat kasih Rp 5.000 supaya bisa lolos kir. Pokoknya, semua di sini bisa diaturlah... sepanjang kita masih mau mengeluarkan uang menyawer petugas," kata Paryono menimpali.

Bila ingin lebih mudah, tambah Supoyo, juga pengemudi angkutan umum, siapkan saja uang Rp 30.000. "Kemudian berikan Rp 10.000 kepada petugas di tempat pendaftaran di loket dan yang Rp 20.000 untuk petugas jalur. Semua urusan bakal selesai sekalipun kondisi kendaraan asal jalan," katanya.

"Sesudah itu siapkan lagi Rp 8.000: Rp 3.000 untuk yang memasang tanda kir dan Rp 5.000 untuk pengecatan tanda kir," kata Supardi, yang juga sedang berurusan di tempat itu menjelaskan.

Sementara itu, di sejumlah di areal tempat kir terpampang dengan jelas pengumuman yang menegaskan agar para pemilik kendaraan maupun pengemudi tidak membayar pengecatan tanda kir.

"Di plangnya memang seperti itu. Saya sendiri pernah menolak membayar ketika orang yang mengecat itu meminta uang. Saya bilang bahwa itu merupakan peraturan yang ditegaskan sendiri oleh Dinas Perhubungan. Tetapi, tetap saja mereka meminta dan mengancam tidak mau mengecat," ucap Sinaga mengeluh.

Alasan yang dikemukakan para tukang cat itu, tambah Sinaga, karena pekerjaan pengecatan tersebut telah ditenderkan Dinas Perhubungan. "Jadi, mereka mengaku sudah mengeluarkan uang untuk tender serta membeli cat dan berbagai peralatan," katanya.

SEBENARNYA biaya resmi kir khusus untuk angkutan umum sekelas angkutan kota milik Koperasi Wahana Kalpika hanya Rp 67.000. Akan tetapi, banyaknya saweran yang harus dikeluarkan membuat para pemilik kendaraan harus membayar sampai Rp 100.000.

Kedengarannya, Rp 30.000 itu kecil. "Tetapi, kami yang mencari rezeki di jalan sangat keberatan," kata Supardi lagi. Sebab, penghasilan bersih sehari-hari para sopir, setelah dipotong biaya bensin dan setoran, hanya Rp 30.000.

"Itu juga kalau lagi rame. Kalau sepi, paling hanya Rp 20.000 saja," katanya.

Bahkan, sekarang, timpal Sinaga, penghasilan pengemudi terus merosot. "Habis jumlah angkutan umum maupun kendaraan lainnya tidak dibatasi. Akibatnya, selain kami harus saling berebut penumpang, jalan pun semakin padat dan macet," katanya.

Permainan seperti itu pula yang mungkin terjadi pada pelaksanaan kir untuk bus kota yang dipusatkan di daerah Pulo Gadung, Jakarta Timur.

"Kalau tidak, mana mungkin banyak bus kota yang asapnya saja sudah menjadi penghalang penglihatan pengemudi kendaraan lain di belakangnya. Nyatanya, kan, bus dengan kondisi seperti itu tetap saja masih bisa beroperasi," ucap Suparmo, warga Jakarta Utara.

DENGAN pelaksanaan kir yang terkesan sekadar formalitas seperti itu, tidak mengherankan kalau kendaraan umum yang beroperasi di jalanan Ibu Kota juga amburadul. Asap tebal knalpot bus kota dan truk mengepul-ngepul, bodi kendaraan hancur- hancuran. Pokoknya, tak laik jalanlah.

Tidak heran kalau para pemilik kendaraan pribadi-mobil atau sepeda motor-menanggapi sinis keinginan Departemen Perhubungan untuk melakukan uji kir bagi mobil pribadi dan semua sepeda motor.

Menurut mereka, Departemen Perhubungan sebaiknya membenahi dulu aparat dan pelaksanaan uji kir sampai menghasilkan kendaraan-kendaraan umum yang betul-betul laik jalan. Jika itu sudah dicapai, barulah kendaraan pribadi diurusi.

Kalau itu tidak dilakukan, maka kebijakan kir itu tentu akan dicemooh dan yang muncul adalah syak wasangka, sekadar mencar-cari cara mengeruk duit rakyat. "Pemerasan oleh negara," begitulah lebih kurang pendapat mereka yang menentang kir mobil dan motor pribadi. (Nic)