Monday, April 30, 2007

'Sukhoigate'Segera Melesat? (29/6-'03)

http://www.tempointeraktif.com/majalah/free/uta-1.html

No. 17/XXXII/23 - 29 Juni 2003

Laporan Utama
'Sukhoigate'Segera Melesat?

Parlemen telah membentuk panitia kerja untuk mengusut berbagai kejanggalan di balik pembelian Sukhoi. Keluarga Istana terlibat?

PADA 5 Oktober depan, perayaan ulang tahun TNI yang ke-58 sedianya akan berlangsung lebih meriah. Di hari itu, langit Jakarta akan bergemuruh dibelah empat pesawat tempur Sukhoi yang baru saja dibeli. Mesin terbang buatan Rusia itu akan melesat memburu musuh, lalu berjumpalitan di udara dengan manuver andalannya: cobra pugachev atau kobra mematuk.

Ditambah dua unit helikopter Mill, burung-burung perang yang kontraknya telah diteken saat Presiden Megawati melawat ke Moskwa pada April lalu itu direncanakan sudah tiba di Tanah Air pada September mendatang. Supaya siap mengawakinya, TNI-AU telah menyiapkan delapan penerbang dan 18 teknisi untuk mengikuti pelatihan.

Sayang, atraksi istimewa yang lama menjadi angan-angan para jenderal itu kini terancam batal. Belakangan kian terungkap, proses pengadaan Sukhoi ternyata mengandung banyak kejanggalan, bahkan melanggar undang-undang. Akibatnya, muncul hujan protes dari para wakil rakyat. Kamis pekan lalu, anggota Komisi Pertahanan DPR bahkan bersepakat membentuk panitia kerja untuk menyelidiki berbagai keganjilan di baliknya. Bila terbukti ada pelanggaran, pembeliannya bisa terancam batal.

Bau tak sedap mulai tercium tatkala sejumlah pejabat penting Republik mengaku tak tahu-menahu ihwal transaksi senilai US$ 193 juta itu. Ini setara dengan Rp 1,74 triliun dengan kurs Rp 9.000. Kontrak jual-beli ditandatangani pada 24 April 2003 oleh Direktur Utama Bulog Widjanarko Puspoyo sebagai pembeli. Adapun Panglima TNI Jenderal Endriartono Sutarto ikut meneken sebagai pemakai. Penjualnya adalah Andrei Belyaninov, Direktur Jenderal Rosoboronexport, perusahaan negara Rusia yang dilimpahi wewenang menjual peralatan militer produksi Negara Beruang Merah. Tapi tanda tangan Menteri Pertahanan Matori Abdul Djalil tak setitik pun kelihatan.

Padahal, sesuai dengan UU Pertahanan Negara, setiap kontrak pembelian senjata mesti diteken oleh Menteri Pertahanan. Matori memang sama sekali tak tahu adanya pembelian tersebut. "Sewaktu kami tanya, dia malah menjawab 'alhamdulillah saya tak terlibat'," kata Zulvan Lindan, anggota Komisi Pertahanan dari PDIP, sambil tertawa.

Sumber TEMPO yang lama bergerak di bisnis senjata juga merasa aneh melihat keikutsertaan Panglima TNI meneken kontrak. "Sejak dulu, penanda tangan end user certificate biasanya adalah kepala staf angkatan atas perintah Menteri Pertahanan," katanya.

Kepada TEMPO, Widjanarko Puspoyo menyatakan bahwa ia meneken kontrak berdasarkan perintah Presiden Megawati melalui Menteri Perindustrian dan Perdagangan Rini Soewandi. Sayang, Rini tak bisa dikonfirmasi karena sedang mengikuti lawatan Presiden ke luar negeri.

Keganjilan terus meruap. Para pejabat di lingkungan Departemen Pertahanan bahkan terkesan mengambil sikap berseberangan. Dalam dokumen rapat evaluasi pembelian pesawat yang diperoleh majalah ini, para staf Menteri Matori menjelaskan bahwa pengadaan Sukhoi tak masuk ke usulan anggaran tahun ini yang diajukan ke Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas).

Mereka malah mengungkapkan kekhawatiran, kendati perencanaannya tak melewati meja mereka dulu, pada akhirnya tetap saja Sukhoi akan membebani anggaran Departemen Pertahanan untuk keperluan pemeliharaannya. "Seperti terjadi waktu pengadaan 39 kapal perang dari Jerman di masa Orde Baru," demikian tertulis dalam dokumen tersebut.

Lebih lagi, pembelian Sukhoi ternyata juga tak masuk rencana pembangunan TNI-AU sampai tahun anggaran 2004, yang berjumlah Rp 5 triliun. Untuk menangani daerah konflik seperti Aceh, TNI-AU sudah merasa cukup dengan pesawat yang dimiliki sekarang. "Menurut ahlinya, yang lebih diperlukan TNI-AU sekarang ini adalah pesawat angkut dan helikopter, bukan pesawat tempur," ujar bekas Kepala Bulog Rizal Ramli, yang rajin mengikuti perkembangan kasus ini.

Saat ini TNI-AU memiliki 25 unit pesawat angkut Hercules. Tapi sebagian besar sudah uzur. Yang masih laik udara tinggal 11 unit. Dari jumlah itu, yang siap pakai tinggal 4-6 buah lantaran sulitnya suku cadang akibat embargo Amerika belum dicabut penuh. "Itu pun dengan kondisi yang dipaksakan," ujar seorang pejabat tinggi pemerintah.

Kondisi yang sama mengenaskannya dialami pesawat tempur F-16. Dari 12 unit yang dibeli TNI-AU, dua sudah jatuh dan yang siap terbang cuma 3-4 buah. Karena itu, yang perlu diprioritaskan sebetulnya adalah anggaran perawatan untuk pesawat yang ada, bukannya membeli armada. Apalagi jumlahnya pun tanggung, hanya empat biji.

Sukhoi makin membawa kisruh karena Departemen Keuangan juga mengaku tak pernah dilibatkan dalam pembahasan transaksi dengan cara imbal dagang itu, yang ujung-ujung memerlukan jaminan pemerintah melalui APBN. "Tak ada konfirmasi dari Departemen Perindustrian dan Perdagangan kepada Departemen Keuangan mengenai pembayaran pembelian Sukhoi melalui APBN," demikian ditulis dalam laporan kasus yang diperoleh TEMPO. Padahal, bila memerlukan jaminan APBN, mestinya kontrak pembelian disetujui lebih dulu oleh Menteri Keuangan.

Menteri Boediono baru resmi diberi tahu ihwal transaksi tersebut melalui tembusan laporan Menteri Rini Soewandi kepada Presiden Megawati pada 28 April 2003. Di sana Rini menyebutkan, untuk pembayaran pesawat dibutuhkan dana US$ 77,57 juta yang dibebankan pada anggaran tahun ini. Sisanya yang US$ 115,33 juta dibebankan pada anggaran tahun depan. Duit tersebut akan digunakan untuk membeli 30 jenis komoditas di dalam negeri yang akan dikirim ke Rusia untuk pembayaran pesawat.

Tak ayal, Boediono ikut kalang-kabut. Apalagi Widjanarko sudah menagih Departemen Keuangan untuk mengganti uang muka sebesar US$ 26 juta yang telah dibayarkannya kepada Rosoboronexport. "Uang muka itu saya peroleh sebagai kredit dari Bukopin dengan bunga komersial," ujar Widjanarko di depan Komisi Keuangan dan Perbankan DPR.

Menurut Widjanarko, uang panjar diperlukan guna membiayai operasional teknis pengiriman pesawat. Namun sumber TEMPO membisikkan, kalaupun itu benar, Bulog sebetulnya tak perlu mengeluarkan duit tunai untuk pembayaran uang muka. "Dia bisa menerbitkan bank guarantee saja," katanya.

Sadar bahwa mengubah APBN bisa makan waktu lama, Menteri Boediono mencari jalan terobosan. Ia akhirnya meminta persetujuan Dewan untuk menggunakan dana cadangan umum tahun ini.

Di sini para wakil rakyat mulai mencak-mencak. Soalnya, sesuai dengan kesepakatan parlemen dan pemerintah, pos itu mesti tetap disimpan untuk berjaga-jaga bila terjadi bencana alam, atau untuk mengganjal sementara anggaran tahun depan. "Terutama selama bulan Januari dan Februari, ketika pemasukan pemerintah masih sedikit," kata anggota Komisi Pertahanan DPR dari Fraksi Reformasi, Rizal Djalil.

Anggota Dewan juga merasa dilangkahi karena tak diajak bicara sebelumnya. "Tak ada pos di APBN yang mencantumkan pembelian pesawat," ujar anggota Komisi Keuangan dan Perbankan dari Fraksi PDIP, yang juga anggota Panitia Anggaran, Engelina Pattiasina.

Keberatan tak kurang disuarakan Deputi Menteri Koordinator Perekonomian Bidang Koordinasi Perindustrian, Perdagangan, dan Pemberdayaan Usaha Kecil dan Menengah, Dipo Alam. "Kalau dana cadangan umum dipakai buat beli pesawat, lalu dari mana dana untuk mengurusi bencana alam dan pengungsi?" ia bertanya. Dipo minta agar pejabat memberi contoh tertib administrasi dan prosedur. "Ini bukan VOC (perusahaan dagang zaman Hindia Belanda—Red.) atau perusahaan yang bisa seenaknya berdagang," katanya dengan nada sengit.

Widjanarko sendiri menampik kabar bahwa Lapangan Banteng, kantor Departemen Keuangan, tak tahu-menahu soal rencana pembelian Sukhoi dengan cara imbal dagang. "Tak benar mereka tak tahu-menahu," katanya sambil menunjukkan sejumlah surat.

Tapi persoalannya jauh dari soal itu. Perbedaan kurs memunculkan kecurigaan berikut. Dalam suratnya ke DPR pada 9 Mei lalu, Menteri Boediono menghitung rupiah yang diperlukan untuk membayar pembelian pesawat dengan menggunakan kurs Rp 9.000 per dolar. Artinya, untuk tahun anggaran sekarang diperlukan dana sekitar Rp 698 miliar, dan Rp 1,03 triliun di tahun depan. Sementara itu, dalam suratnya kepada Menteri Perindustrian dan Menteri Keuangan tanggal 13 Mei lalu, Widjanarko Puspoyo menggunakan kurs Rp 8.745 per dolar. Dari perbedaan kurs ini saja ada selisih sebesar Rp 50 miliar. "Siapa yang menikmati duit itu?" kata Rizal Djalil.

Belum lagi di kalangan PDIP sendiri mulai diributkan soal "lenyapnya" US$ 5 juta dari total uang muka. Dari total US$ 26 juta yang disebutkan, uang panjar yang disetor ke Rusia kabarnya cuma tinggal US$ 21 juta. Soal itu telah ditanyakan langsung oleh seorang petinggi PDIP kepada Presiden Megawati sebelum melawat ke Bangladesh.

Mereka mempertanyakan mengapa Widjanarko menggunakan dana berbunga komersial untuk transaksi yang membebani anggaran negara. Selain itu, pengucuran dana talangan dari Bukopin sendiri dinilai membahayakan bank yang mayoritas sahamnya dimiliki Bulog itu. Bukopin bisa divonis melanggar batas maksimal pemberian kredit (BMPK).

Kesehatan Bukopin juga akan terganggu bila dana talangan itu tak cepat kembali. Soalnya, modal Bukopin yang hanya Rp 296,6 miliar jelas akan langsung tergerus setelah menggelontorkan pinjaman sebesar Rp 220,35 miliar itu. Ujung-ujungnya, rasio kecukupan modalnya (CAR) yang cuma 14,13 persen pun akan anjlok sampai di bawah 8 persen. Dus, Bukopin bisa-bisa masuk ke ruang gawat darurat bank sentral.

Banyaknya kejanggalan itu kian membuat "koboi-koboi parlemen" naik darah. Terlebih belakangan berembus kabar santer adanya keterlibatan calo swasta, dengan menggandeng keluarga Istana, di balik proyek. Kepentingannya? Apa lagi kalau bukan untuk mencari komisi.

Lagi-lagi Widjanarko membantah kabar yang santer beredar di Senayan itu. Pemerintah, menurut dia, justru telah memotong rantai agen sehingga harga bisa ditekan karena transaksi bisa dilakukan langsung antarnegara. "Saya sendiri bukan orang bodoh untuk terlibat dalam lingkaran hitam seperti itu," ujarnya. (lihat "Satu Sen pun Saya Tidak Makan dari Situ.")

Widjanarko, yang pernah menjadi ketua tim investigasi dana nonbujeter Bulog saat duduk di kursi parlemen,, memang harus hati-hati melangkah. Salah-salah, kasus Sukhoi melesat menjadi skandal Bulog berikutnya.

Nugroho Dewanto, Eduardus Karel Dewanto, Ali Nur Yasin

5 Manuver Berbahaya

H Melabrak UU No. 3/2002 tentang Pertahanan. Kontrak harusnya diteken Menteri Pertahanan, bukan Kepala Bulog.

H Melanggar UU APBN karena rencana pendanaannya dari APBN tak meminta persetujuan DPR lebih dulu.

H Menerabas tertib anggaran. Sebelum kontrak diteken, rencana pembelian Sukhoi tak diajukan dulu ke Menteri Keuangan.

H Membuat Bank Bukopin menabrak ketentuan batas penyaluran kredit dan rasio kecukupan modal karena memberikan dana talangan (jika tak dijamin APBN).

H Menerobos prosedur pengadaan peralatan militer TNI. Pembelian Sukhoi tak tercantum dalam usul alokasi Kredit Ekspor TNI tahun anggaran 2003, dan tak masuk dalam rencana pembangunan TNI AU sampai tahun anggaran 2004, senilai Rp 5 triliun. DariMoskwa ke Senayan 29 Agustus 1997

Pemerintah meneken surat kesepakatan (letter of agreement) pengadaan 12 unit pesawat tempur Sukhoi tipe SU-30K dan 8 heli MI-17-IV dari Rusia. Rencana dibatalkan karena krisis ekonomi.

23-29 September 2002

Menteri Perindustrian dan Perdagangan Rini Soewandi melawat ke Rusia, membicarakan kerja sama di sektor industri, perdagangan, dan pertahanan dengan model perdagangan imbal beli.

25-26 Sept 2002

Pertemuan Joint Commission Indonesia-Rusia di Moskwa. Direktur Jenderal Urusan Amerika dan Eropa Departemen Luar Negeri RI dan Wakil Menteri Pengembangan Ekonomi dan Perdagangan Rusia meneken kesepakatan kerja sama militer.

Februari 2003

Pertemuan Joint Commission Indonesia-Rusia di Jakarta dan Bandung, membicarakan kerja sama di bidang hankam dengan metode imbal beli. Tersirat niat pembelian Sukhoi.

20-21 Maret 2003

Indonesia-Rusia mengadakan Sidang Komisi Bersama II di Bali dan meneken perjanjian kerja sama di bidang perdagangan, ekonomi, dan teknik. Tak disebutkan rencana pembelian Sukhoi.

21 April 2003

Pemerintah RI dan Rusia meneken Perjanjian Kerja Sama Teknik Militer di Moskwa. Pembelian Sukhoi tak disebutkan.

21-24 April 2003

Presiden Megawati melawat ke Rusia.

24 April 2003

Di Moskwa Kepala Bulog Widjanarko Puspoyo, disaksikan Panglima TNI Jenderal Endriartono Sutarto, meneken kontrak pembelian 4 unit Sukhoi (SU-27SK dan SU-30MK) senilai US$ 171 juta dan 2 unit heli Mill tipe MI-35P senilai US$ 21,9 juta dengan sistem imbal dagang.

28 April 2003

Surat Menteri Rini Soewandi ke Presiden Megawati melaporkan antara lain isi kontrak pembelian Sukhoi dan Mill, pembayaran uang muka US$ 26 juta, dan meminta pemerintah c.q. Departemen Keuangan jamin pendanaan Bulog melalui APBN.

9 Mei 2003

Surat Menteri Keuangan Boediono kepada Ketua DPR, minta persetujuan menggunakan dana cadangan umum untuk pembelian Sukhoi dan Mill.

13 Mei 2003

Surat Kepala Bulog Widjanarko Puspoyo kepada Menteri Rini dan Menteri Boediono, melaporkan pembayaran uang muka US$ 26 juta yang berasal dari pinjaman Bank Bukopin.

18 Juni 2003

Direktur Jenderal Anggaran Departemen Keuangan, Anshari Ritonga, mengatakan belum menyiapkan dana pembelian Sukhoi, karena harus diputuskan dulu bersama DPR.




Search


Help


Latest News
• Polisi Musnahkan Barang Bukti Narkoba Senilai Rp 11,6 Miliar
(25/6/2003 17:37:49)
• Alwi Shihab Daftarkan PKB ke Departemen Kehakiman
(25/6/2003 16:56:45)
• Pembongkaran Bangunan, Aparat Pukul Pengacara Warga
(25/6/2003 16:48:3)
• Polri Akan Periksa Ulang Anggota Jamaah Islamiyah di Malaysia
(25/6/2003 16:28:54)
• Fuad Hassan: Perguruan Tinggi Harus Jelaskan Jalur Khusus Penerimaan Mahasiswa
(25/6/2003 15:55:58)
• Mabes Polri Musnahkan Narkoba Senilai Rp 11,6 Miliar
(25/6/2003 15:42:26)
• Populasi Penyu di Indonesia Terancam Punah
(25/6/2003 15:29:52)
• 1.200 Karyawan Kontrak ExxonMobil Mogok Kerja
(25/6/2003 14:56:5)
• Wajib Pajak yang Bandel Akan Disandera
(25/6/2003 13:4:37)
• Status Nessen Ditentukan Hari Ini
(25/6/2003 16:27:41)