Monday, April 30, 2007

Re: DPR:....Pembelian Sukhoi (21/6-'03)

Re: DPR: Banyak Kejanggalan dalam Pembelian Sukhoi

Kompas hari ini 21/6 memberitakan tanggapan si limbuk dari Bangladesh
atas pembentukan panja DPR yang mempertanyakan pembelian Sukhoi itu.
Kedua kali ini si limbuk blunder dalam mengambil keputusan penggunaan
duit negara yang melanggar UU (APBN),tanpa melalui mekanisme anggaran
APBN yang harus dibicarakan dengan legislatif.(DPR).
Saya agak yakin bahwa blunder2 itu bukan murni ide/pemikiran si
limbuk itu.Pasti bisikan2,karena tidak pernah dibicarakan di sidang2
kabinet dan apalagi tidak ada dalam UU APBN.
Yang pertama adalah penggunaan dana Bampres (yang seharusnya tidak
ada lagi dan disetor ke kas negara,karena tidak jelas sumbernya/dana
non budgeter,hasil peras sana sini oleh presiden (Orba) dulu) untuk
membangun asrama polisi/brimob di jl.Kwitang,Jkt.
Ini terjadi atas bisikan Mensesneg,kader Orba yang bisa dekat ke
limbuk.
Blunder yang kedua ini belum jelas siapa yang bisikin.
Blunder ini sangat arogan,otoriter dan sulit dipertanggungjawabkan.
Para petinggi Negeri ini a.l Menperindag Rini Suwandi,Kabulog
Widjanarko termasuk First 'Gentlemen' Taufik Kiemas yang mendampingi
si limbuk ke Rusia dulu adalah manusia2 yang tidak layak mengemban
jabatannya,karena seolah2 menyatakan pembelian Sukhoi itu dengan cara
imbal beli sangat menguntungkan Indonesia.
Saking jengkelnya maka orang jawa akan nyeletuk:ndasmu;orang Batak
mengatakan: ulumi;orang Betawi bilang:jidadmu................

Bagaimana hal ini tidak menjengkelkan karena negara ini masih
terpuruk perekonomiannya.
Anggaran pendapatan negara/pemerintahan limbuk ini masih sangat
rendah yang sebagian besar digunakan untuk membayar hutang2 dan
bunganya baik hutang DN maupun LN,sehingga alokasi anggaran untuk
pembangunan tinggal sedikit.
Janji TAP MPR dan UU membuat anggaran untuk pendidikan paling sedikit
20 % belum dapat dilaksanakan (kalau nggak salah tahun ini baru
3,5%),ee pemerintahan limbuk ini sudah mau nggerogoti APBN untuk hal2
yang tak begitu strategis.
Lalu darimana alokasi anggaran untuk mengadakan komoditi sebagai
imbal beli Sukhoinya?
Apakah dengan rencana imbal beli dengan komoditi pertanian,lalu
Negara/pemerintahan limbuk lepas dari penyediaan anggaran untuk
membelinya?
Apakah komoditi untuk imbal beli itu diperoleh oleh pemerintahan
limbuk itu dengan mengambil begitu saja tanpa bayar (merampas) dari
para petani,perusahaan pertanian/perkebunan milik swasta dan Negara
(BUMN)?
Apakah maksudnya akan menggunakan wang Bulog tanpa melalui APBN?Sejak
kapan Bulog ditentukan juga untuk Urusan Logistik perang?Darimana
uang Bulog ?Untuk ngurusin beras,gula saja kewalahan/keteter.!!
Masih segudang pertanyaan bisa dilontarkan untuk ini.

Si Limbuk mengatakan dari Dhaka agar DPR janganlah mepermasalahkan
soal prosedurenya,tapi lihatlah dari sudut makronya.Sejak kapan si
Limbuk ini bisa ngomong soal2 makro?
Kelihatannya,si Limbuk ini tidak ngerti apa yang diomonginnya.Sebagai
seorang yang menyatakan diri sebagai pro reformasi adalah salah besar
berbicara seperti cara bicara ORBA yang selama 32 thn selalu bicara
makro dan tidak pernah mau tau soal proses/prosedure tapi
menghalalkan segala cara untuk mencapai target/output.Ahirnya membuat
Negara/bangsa ini terjerembab dalam krisis multi dimensi sejak 1997
yll,yang masih untung hingga sekarang belum berantakan pecah
berkeping keping.
Adalah suatu keharusan rakyat antara lain melalui LSM dan DPR/ Komisi
I mempertanyakan itu dan harus diusut secara tuntas.


GD

--- In apakabar@yahoogroups.com, demo.gazah@a... wrote:
> Salam
>
> Benar-benar sudah tidak bisa berfikir dengan jernih lagi para
pemimpin kita. Negara yang sudah kacau balau dalam semua bidang:
ekonomi yang masih berantakan, sosial politik yang masih terus
memanas di mana-mana, eh malah ditambahin dengan tindakan pemerintah
yang tidak mikir dulu dengan matang.
>
> Untuk apa pesawat tempur?
> Untuk ngebom perlawanan yang muncul!
> Tidak akan menyelesaikan masalah yang ada.
> Atau untuk membela diri jika ada yang mau menurunkan diri dari
kekuasaan!
> Mungkin ini alasan yang masuk akal
>
> Lagi-lagi yang menjadi korban dan menanggung itu semua adalah
rakyat yang tidak tahu apa-apa dan tidak mempunyai hak berbicara di
tingkat atas.
> Marilah kita suarakan jeritan rakyat yang sudah lama disengsarakan
oleh pemerintah.
>
> Adik
>
> --------------------------
> DPR: Banyak Kejanggalan dalam Pembelian Sukhoi
> Jumat, 20 Juni 2003, 15:34 WIB
>
> Jakarta, Kompas Online
>
> Wakil Ketua Komisi I DPR RI Effendy Choirie berpendapat bahwa
pihaknya melihat banyak kejanggalan di balik pembelian beberapa unit
pesawat tempur canggih milik Rusia.
>
> Sebab, dari sudut pandang urgensinya, Choirie menilai pembelian
pesawat tempur jenis Sukhoi belum diperlukan Indonesia, karena jenis
itu hanya efektif dan diperuntukkan dalam satu perang terbuka.
>
> "Padahal, belum tentu dalam 50 tahun ke depan Indonesia akan
berperang secara terbuka dengan negara lain," katanya. Choirie juga
menyebutkan bahwa pihaknya telah mendapat informasi yang menyatakan
harga pembelian Sukhoi memang relatif murah, tetapi untuk pembiayaan
perawatannya sangat tinggi.
>
> Karena itu, pemerintah perlu menjelaskan latar belakang pembelian
Sukhoi, sekaligus menjawab berbagai pertanyaan lain seputar proses
imbal beli tersebut.
>
> Menyangkut hal itu DPR akan meminta Presiden Megawati memberikan
penjelasan dan bertanggung jawab atas pembelian pesawat tempur
Sukhoi. Jika itu tidak dilakukan, anggota DPR yang juga anggota MPR
akan mempertanyakan dalam Sidang Tahunan (ST) MPR Agustus mendatang.
>
> Hal ini dikemukakan Ketua DPR Akbar Tandjung seusai shalat Jumat di
Masjid Baiturahman Gedung DPR Jakarta. "Presiden diminta segera
menjelaskan mengenai keputusan pemerintah membeli pesawat Sukhoi
itu," katanya.
>
> Menurut Akbar, bila dilihat dari urgensinya pembelian pesawat
Sukhoi memang diserahkan penuh pada pemerintah yang lebih mengetahui.
Meskipun dianggap telah mendesak, Akbar berpendapat, pemerintah tidak
bisa begitu saja melewatkan prosedur baku yang telah ada, terutama
melalui pembahasan dan persetujuan Panitia Anggaran DPR. (Ant/dul)